Sinergi untuk Eksplorasi Potensi Manusia (Mendalami Model Hidayatullah)
“Bacalah dengan
menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu Maha Mulia. Dia mengajari
manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahui
manusia.” (Terjemah Q.S. Al-‘Alaq: 1-5)
Hidayatullah, sejak awal berdiri, memberikan perhatian intensif terhadap wahyu pertama ini. Karena ada begitu banyak pesan yang tersimpan. Salah satunya keistimewaan manusia.
Dalam rangkaian ayat tersebut, manusia disebut khusus. Tidak ada makhluk lain yang disebut selainnya. Bukan hanya itu, aspek fundamental lain tentang manusia juga disebut semisal proses penciptaannya.
Pemahaman ini diperkuat oleh firman Allah ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 70, “Dan sesungguhnya telah Kami (Allah) muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Firman-Nya yang lain dalam Al-Qur’an surat At-Tin ayat 4-6, “Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Dari tiga ayat tersebut, sekali lagi dapat dipahami bahwa manusia itu istimewa. Oleh karena itu, Hidayatullah tidak sepenuhnya menerima konsep sumber daya manusia, sebagaimana lazim digunakan dalam konteks industri. Perlakuan kepada manusia tidak bisa disamakan dengan aneka sumber daya dalam industri semisal bahan baku.
Bagi
Hidayatullah, merujuk kepada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30, manusia adalah
pemimpin. Potensinya terlalu besar untuk menjadi objek. Ia harus menjadi
subjek.
Dalam hal ini,
Hidayatullah lebih mengakui dan mengadaptasi konsep sumber daya insani. Manusia
bukan objek yang dieksploitasi, tetapi sebagai entitas yang perlu dieksplorasi
sehingga kemudian siap memberikan kontribusi. Bukan hanya kepada dirinya
sendiri, tapi kontribusi seluas mungkin.
Dalam
eksplorasi potensi manusia, Hidayatullah memetakan individu kader dan
anggotanya dalam empat peran dan satu tugas khusus. Keempat peran tersebut adalah
kultural, profesional, struktural, dan fungsional. Sifatnya umum, semua kader
dan anggota menjalaninya. Sementara tugas khusus hanya untuk sebagian.
Peran kultural adalah keterlibatan kader dan anggota dalam kegiatan tarbiyah dan dakwah. Peran ini paling mendasar. Peran profesional adalah peran yang dilakukan kader dan anggota dalam menggerakkan amal serta badan usaha Hidayatullah dengan meniti karir sebagai profesional. Peran fungsional adalah peran yang dilakukan kader atas dasar kepercayaan organisasi untuk memegang amanah sebagai pembina, pengawas, dan pengurus amal serta badan usaha. Peran struktural adalah peran pengabdian kader sebagai pengurus struktural organisasi dengan periode tertentu.
Pemetaan ini
penting. Karena menjadi catatan awal untuk memberikan arah eksplorasi diri kader dan anggota. Selain itu, pemetaan ini
memberikan peluang terjadinya integrasi serta akselerasi pengembangan diri.
Misalkan seorang kader menjalani aktivitas pengembangan diri sebagai guru Al-Qur’an. Selain materi tentang pembelajaran Al-Qur’an untuk anak-anak, pada saat bersamaan ia juga bisa mempelajari materi yang sama untuk orang dewasa. Dua target dapat dicapai.
Misal lain
pelatihan untuk pimpinan unit. Selain untuk mengelola unit, hasil belajar sang
pimpinan unit juga bisa diadaptasikan untuk mengelola organisasi. Karena dasar
keilmuannya sama.
Kontekstualisasi kata kuncinya. Satu aktivitas pengembangan diri dikerangkakan dengan dua atau tiga konteks sekaligus. Penanggung jawab aktivitas pengembangan diri merancang agar multi-konteks ini dapat terserap oleh kader dan anggota.
Dengan demikian
efektivitas dan efisiensi dapat terjadi. Kader dan anggota menjalani satu
aktivitas pengembangan diri saja, tapi dapat mengaplikasikan hasilnya di dua
atau tiga konteks. Sehingga pengulangan aktivitas pengembangan diri tidak mesti
terjadi.
Satu jalan
utama agar integrasi aktivitas pengembagan diri terjadi adalah koordinasi
antara organisasi dengan amal/badan usaha. Beberapa topik dibahas tuntas.
Pertama, pengukuran potensi kader dan anggota. Kedua, perancangan aktivitas pengembangan
diri dengan azas keseimbangan peran. Ketiga, teknis pelaksanaan.
Keempat, asesmen. Kelima, tindak lanjut ke siklus berirkutnya.
Dalam hal ini, organisasi di semua level mengaktifkan departemen sumber daya insani. Agar ada representasi organisasi dalam koordinasi dengan amal/badan usaha. Jika belum memungkinkan, departemen perkaderan jadi opsi lainnya.
Adapun
pelaksana teknis aktivitas pengembangan diri kader dan anggota diamanahkan
kepada amal/badan usaha. Beberapa pertimbangan disampaikan sebagai berikut.
- Fasilitas lebih banyak dikelola oleh amal/badan usaha.
- Aktivitas harian kader dan anggota lebih terhubung ke agenda amal/badan usaha.
- Jaringan amal/badan usaha relatif lebih luas.
- Kegiatan di amal/badan usaha sebagian besarnya bersifat dakwah, selaras dengan mainstream organisasi.
- Data terkait kapasitas dan kapabilitas kader dan anggota lebih banyak dimiliki amal/badan usaha.
Ego sektoral
diminimalisir. Karena integrasi aktivitas ini bisa memberi dampak kepada tiga
pihak sekaligus. Organisasi dapat berjalan. Amal/badan usaha dapat menjalin networking
lebih luas. Kader dan anggota lebih berkembang kemampuannya.
Perihal lain
yang tidak kalah penting adalah apresiasi. Bahwa kader dan anggota yang bisa
menjalankan perannya secara simultan dan seimbang mendapatkan apresiasi.
Penilaian kinerja memasukkan intensitas personel pada aktivitas organisasional.
Tidak ketinggalan
satu aktivitas, yakni konseling. Perbicangan satu lawan satu dilakukan amal/badan
usaha terhadap kader dan anggota. Konseling ini tidak menunggu ada masalah.
Bahkan konseling menjadi tempat untuk mengapresiasi kiprah yang ditampilkan.
Hasil konseling
dibahas bersama antara amal/badan usaha dengan organisasi. Bahwa titik sinergis
ketiga pihak perlu terus diupayakan. Agar semua pihak merasakan manfaat.
Sebagai catatan
pelengkap, ada sebagian kader dan anggota Hidayatullah yang beraktivitas
ekonomi di luar amal/badan usaha Hidayatullah. Ini tidak mengapa. Karena ada keluasan di peran profesional. Hal terpenting, sebagaimana telah disampaikan,
kader menjalankan peran kulturalnya. Semakin baik jika peran struktural dan
fungsional juga mampu dijalankan.
Pada akhirnya diharapkan
model pengembangan kader dan anggota Hidayatullah ini menginspirasi berbagai
pihak. Bahwa manusia perlu terus ditumbuhkan potensinya. Agar kontribusi
individual dan komunal terus berkembang. Amanah sebagai abdullah dan khalifatullah
bisa ditunaikan dengan baik.
Wallahu a’lam.
Fu'ad Fahrudin, alumni Hidayatullah Institute batch 10.
Post a Comment