Header Ads

Memprioritas Kewajiban sebagai Konsekuensi Ibadah

Dalam Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56, Allah ta’ala berfirman, “Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.”

Ibadah, sebagaimana dipahami secara masyhur, bermakna segala aktivitas sesuai tuntunan-Nya dan diniatkan memperoleh keridhaan-Nya. Sehingga semua aktivitas dapat bernilai ibadah. Asalkan kedua syarat tersebut dipenuhi.

Hal lain yang penting adalah mindset. Bahwa keberadaan jin dan manusia di dunia bertujuan ibadah, bukan bersenang-senang atau sejenisnya. Ada jalan yang harus ditempuh, target yang dicapai. Sehingga satu mindset terpenting ialah memprioritaskan kewajiban.

Adapun hak dapat diperoleh dan dituntut. Tetapi sekali lagi bukan prioritas. Karena hak bukan sesuatu yang melekat pada diri manusia. Hak muncul karena konsekuensi kewajiban.

Semisal hak anak. Hak jenis ini muncul karena ada kewajiban orangtua kepada anak. Orangtua perlu menjalankan kewajiban ini dalam rangka ibadah kepada Allah ta’ala. Jika anak sejahtera dengan pelaksanaan kewajiban orangtua kepadanya anak, hal ini konsekuensi belaka, bukan tujuan. Karena tujuannya ibadah.

Mindset ini penting, juga bermanfaat. Pertama, mindset ini memandu prioritas hidup manusia. Prioritas utamanya, sebagaimana telah disebutkan, menjalankan berbagai aktivitas dalam bingkai ibadah. Kedua, mindset ini memandu seorang manusia untuk siap bergerak, aktif, tidak pasif. Ketiga, mindset ini memandu manusia untuk mandiri bahkan memberi. Karena bagaimanapun dalam beribadah ia tidak bisa terus-menerus dipandu. Ada saat ia harus beraktivitas mandiri, apalagi saat tenaga masih ada dalam tubuh. Keempat, mindset ini lebih jauh memandu manusia untuk melayani dirinya dan sesama. Semakin tinggi seseorang ingin memperoleh kemuliaan ibadah, semakin rajin ia melayani sesama. Bahwa pelayanan bukanlah kerendahan, tapi justru kemuliaan. Kelima, mindset ini menjauhkan diri dari kecewa, saat kewajiban telah ditunaikan namun dinilai rendah oleh sesama manusia. Sejatinya tujuannya kepada Allah ta’ala, bukan manusia. Biarlah mereka mau menilai apa. Keenam, mindset ini memberikan fondasi dalam pendidikan bahwa anak dilatih untuk menjadi hamba Allah ta’ala. Ketujuh, hal-hal haram dikelola sedemikian rupa oleh pemimpin agar tidak memberikan paparan kepada orang-orang yang dipimpin.

Lebih dalam terkait pendidikan, sebagaimana mindset prioritas kewajiban, ada spektrum luas yang dijadikan pijakan. Secara mikro, ada sistem pendidikan berbasis tauhid yang dioperasionalkan. Sementara makro, ada kebijakan-kebijakan yang mendukung pelaksanaan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan. Contoh kebijakan-kebijakan ini antara lain pengelolaan internet secara nasional, regulasi yang mengantisipasi perilaku bebas pada pelajar, dan revitalisasi perpustakaan di berbagai tingkatan daerah.

Tanpa kebijakan-kebijakan yang mendukung tersebut, pendidikan sulit menggapai tujuannya. Karena dukungan lingkungan sangat rendah. Bahkan akhirnya lingkungan memberikan daya rusak yang tidak kecil.

Berbagai nilai baik dipahami hanya ada di sekitaran lembaga pendidikan. Di luarnya, hanya ada satu kata: Kebebasan tanpa batas. Civitas akademika para akhirnya memiliki dua kepribadian, tergantung tempat. Sopan santun di lembaga pendidikan, namun liar di luaran.

Sementara itu, dalam sistem ekonomi dan sosial, kerangka berpikir memprioritaskan kewajiban melahirkan sistem saling tolong. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 276, Allah ta’ala berfirman, “Allah menghapus riba dan menyuburkan shadaqah.”

Riba sistem ekonomi yang menghisap sumber daya orang lain dengan cara zhalim. Sebaliknya shadaqah memberikan sumber daya milik sendiri kepada orang lain. Shadaqah menunaikan kewajiban dengan berlebih. Sehingga orang lain menerima haknya secara lebih banyak.

Memang tidak selamanya seseorang dapat memberi. Terpenting mindset shadaqah melekat. Sehingga minimal kezhaliman tercegah.

Dengan shadaqah, sumber daya yang ada di masyarakat dapat didistribusikan dengan baik. Tidak ada penumpukan di kalangan satu dua orang/pihak. Kesenjangan berkurang.

Jika ini terjadi, semoga tidak ada keresahan sosial. Satu sama lain mendamaikan. Tidak ada kedengkian yang berpotensi pada perampasan.

Keindahan kehidupan saling melayani ini akan semakin indah manakala kebudayaan Islami mewarnai. Estetikanya terasakan. Sedangkan substansinya dan sekaligus orientasinya mengarah kepada pembangunan insan berketuhanan, sebagaimana dapat ditelaah dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’ara ayat 224-227.

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah serta mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.”

 

Demikianlah mindset ibadah melahirkan kemanan, kenyaman, dan keindahan dalam kehidupan. Edukasi perlu terus dilakukan. Lewat kata, edukasi lebih lengkap dengan peragaan, baik tingkat invidual ataupun komunal.

Wallahu a’lam. 

Diberdayakan oleh Blogger.