Membangun Ketahanan Pendidikan
“Perkembangan zaman itu harus diikuti dan
diakomodasi,” ajak sejumlah pihak. Agar, masih menurut mereka, pendidikan
berkembang mengikuti zaman. Peserta didik tidak gagap dengan lingkungan
sekitarnya bahkan bisa berkontribusi.
Ajakan ini baik, tapi tetap perlu disikapi proporsional. Karena ada banyak faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sebagiannya bersifat realitas, sebagian lainnya idealitas.
Terkait faktor idealitas, ada nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat. Salah satunya nilai agama. Dalam konteks Indonesia
dengan mayoritas penduduk beragama Islam, ajaran Islam ditempatkan di posisi
penting.
Ajaran Islam tidak anti perkembangan zaman. Bahkan
dalam sejarah, peradaban umat Islam bisa berdialog dan berakulturasi dengan
peradaban lainnya. Hasilnya dapat dilihat hingga saat ini, terutama peninggalan
yang bersifat arsitektur.
Dialog dan akulturasi peradaban dimungkinkan terjadi
karena ada fleksibilitas dalam Islam. Nilai-nilai utama dikokohkan sehingga
mampu menghasilkan nilai-nilai derivatif yang akomodatif. Semisal pohon dengan
akar kokoh, dahannya berkemungkinan lentur mengikuti hembusan angin, tidak
mudah patah serta runtuh.
Salah satu nilai dasar yang dimiliki Islam adalah
halal-haram. Dalam salah satu hadits disebutkan, “Perkara halal itu jelas,
perkara haram itu jelas, dan di antara keduanya ada yang samar-samar.”
(Terjemah hadits riwayat Bukhari Muslim)
Cakupan hadits tersebut luas. Dari kehidupan pribadi
hingga komunal, semuanya ditata dalam bingkai halal-haram. Perkara halal
dibolehkan, bahkan sebagiannya menjadi wajib. Sementara perkara haram harus
ditinggalkan. Adapun perkara samar-samar baiknya dijauhi, paling tidak
diminimalisir.
Kembali ke topik pendidikan, halal-haram memandu akomodasi perkara-perkara baru dalam proses pendidikan. Jika perkara itu wajib diakomodasi, maka penyelenggara pendidikan harus berupaya agar perkara itu dapat dilaksanakan. Jika halal, maka diserahkan kepada kondisi lembaga pendidikan masing-masing. Jika samar-samar, maka baiknya perkara itu diminimalisir penggunaan atau pelaksanaannya. Sedangkan jika haram, maka harus ada upaya kuat agar lingkungan serta proses pendidikan tidak terpapar.
Salah satu upayanya melalui edukasi preventif. Peserta didik diberikan materi agar menjauhi perkara haram. Langkah ini didasari kaidah, “Mencegah keburukan lebih didulukan
ketimbang menciptakan kemaslahatan.”
Penyelenggara dan pelaksana pendidikan di setiap tingkatan tidak boleh putus asa untuk melakukan upaya-upaya preventif. Menyerah kepada satu perkembangan zaman yang negatif, lalu mengajak untuk melakukan akomodasi, cerminan lemahnya mujahadah (bersungguh-sungguh menegakkan agama). Mungkin terlihat bijaksana, namun pilihan akomodatif terhadap perkembangan negatif hanya akan menimbulkan banyak masalah di masa depan.
Semisal akomodatif terhadap perilaku seks bebas di
kalangan muda, tentu pilihan ini membuka pintu zina lebih lebar. Edukasi seks
aman, apalagi legalisasi alat kontrasepsi pada remaja dan pelajar, menandakan
ketiadaan negasi terhadap perilaku zina. Terlepas dari zina yang dilakukan
tidak menimbulkan penyakit ataupun kehamilan, tetap zina perlu dilarang.
Penyelenggara dan praktisi pendidikan perlu memasuki
problematika hingga ke akarnya. Lalu solusi dihadirkan dengan kajian yang utuh.
Dengan demikian semoga masalah-masalah derivatif tidak bermunculan dan
berkembang.
Terkait dengan edukasi seks aman, tetap akan ada
potensi masalah atas legalisasi perzinaan. Salah satunya degradasi nilai
manusia. Ia hanya akan dinilai sebagai sesosok tubuh. Perihal cinta dan
komitmen jadi omong kosong belaka. Sehingga kemudian akhlak mulia akan
menghilang. Sebagai gantinya, segala hal diukur dengan materi. Tidak ada lagi
peduli dan gotong royong.
Oleh karena itu, sangat jauh dari baik jika semangat
preventif atas perkara-perkara negatif hilang dari proses serta lingkungan pendidikan.
Situasi buruk dapat segera datang. Ikhtiar-ikhtiar membangun prestasi akan
sia-sia. Ibarat membangun, dindingnya kokoh namun fondasinya lemah, mudahlah
ambruk. Prestasi berusaha diukir namun perilaku buruk sudah sedemikian luas dan
melemahkan daya peserta didik. Entah apa yang masih tersisa, mungkin hanya
tangis pilu tak berkesudahan.
Wallahu a’lam.
Post a Comment