Agama Membangun Jiwa Bangsa, Refleksi 79 Tahun Indonesia Merdeka
79 tahun sudah
Indonesia merdeka. Berbagai kemajuan telah dicapai. Namun beberapa persoalan
bangsa dan negara masih terasa membelit. Sejumlah pihak masih optimis dengan
masa depan negeri tercinta, sebagian lainnya mulai pesimis.
Secara natural,
Indonesia negeri yang kaya. Sumber daya alam begitu melimpah. Sehingga muncul
perkataan, apa yang tidak ada di Indonesia? Tongkat yang ditancapkan saja bisa
kemudian tumbuh dan memberi manfaat.
Secara demografis, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar. Bahkan sebagaimana telah masyhur, pada tahun 2045 diperkirakan Indonesia memasuki fase Indonesia Emas. Saat itu penduduk usia produktif jauh lebih banyak ketimbang yang tidak. Percepatan pembangunan negeri bisa dipacu.
Secara geografis, Indonesia memiliki posisi strategis. Terletak di jalur pelayaran dan penerbangan penting, Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata oleh negara-negara tetangga. Pembukaan akses transportasi sangat bermakna bagi berjalannya roda ekonomi mereka.
Indonesia juga memiliki lautan yang luas. Dalam perspektif maritim, fakta ini dapat menjadi motivasi sejumlah inovasi semisal teknologi kapal antarpulau yang ekonomis, kapal penangkap ikan ramah lingkungan, hingga pesawat terbang ringan.
Kekayaan lain Indonesia yang tidak boleh dilupakan adalah kekayaan nilai-nilai. Ada begitu banyak nilai berkembang di masyarakat dan negara. Ada nilai konvensi dan nilai sosial. Tak tertinggal untuk disebut karena peranan pentingnya adalah nilai agama.
Telah bertahun-tahun bahkan beratus tahun, masyarakat Indonesia menyuburkan nilai agama dalam kehidupan mereka. Nilai agama itu masuk tidak hanya ke kehidupan pribadi, tapi juga sosial dan profesional. Bahkan dalam sekian dasawarsa, nilai agama mulai masuk dalam kehidupan akademik. Lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan revitalisasi lembaga-lembaga pendidikan Islam menjadi katalisator fenomena tersebut.
Dengan demikian akan lebih bijaksana jika nilai agama memiliki tempat yang lebih luas di Indonesia. Bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah perlu mengacu dan sekaligus berorientasi kepada nilai agama. Perkara-perkara yang berpotensi atau bahkan telah menjadi patologi sosial dapat diminimalisir. Karena apalah guna pendidikan di sekolah, madrasah, dan lembaga pendidikan lainnya jika pelajar dan peserta didik tidak diproteksi dari hal-hal merusak.
Pemerintah harus mulai memetakan perkara-perkara yang perlu ditindak tegas, baik di media massa, media sosial, ataupun kehidupan nyata. Selanjutnya langkah-langkah dan kebijakan-kebijakan strategis disusun. Baru sosialisasi dan implementasi kebijakan dilaksanakan.
Tanpa minimalisasi patologi sosial, harapan Indonesia Emas dimungkinkan akan menguap. Karena ikhtiar-ikhtiar pembangunan manusia yang dilakukan negara dan masyarakat lebih mudah dinegasikan oleh keburukan-keburukan yang terlanjur menyebar. Lebih buruk lagi, konflik horizontal berpotensi terjadi sewaktu-waktu. Kelompok masyarakat yang ingin menghapus patologi sosial harus berhadapan dengan kelompok kontra. Biaya sosialnya bisa sangat mahal.
Di aspek lainnya pemerintah perlu mendorong suburnya semangat beragama. Insentif kepada organisasi masyarakat, tempat ibadah, dan personal keagamaan perlu ditingkatkan. Wujudnya beragam salah satunya pengurangan pajak.
Dengan suburnya semangat beragama, semoga pemerintah mampu melakukan akomodasi yang tepat terhadap perkembangan zaman. Bahwa hal-hal permisif perlu ditinjau untuk dilegalkan. Misalnya maraknya seks bebas di kalangan pelajar dan remaja tidak membuat pemerintah memberikan akomodasi dalam bentuk legalisasi perilaku sejenis ini. Jangankan atas nama agama, atas nama etika, legalisasi seks bebas sangat tidak humanis. Karena pada akhirnya manusia akan lebih banyak dipandang sebagai setubuh material. Aspek intelektual, mental, dan spiritual dipinggirkan.
Bacaan terkait:
Dengan suburnya
semangat keagamaan pula, semoga pemberdayaan masyarakat lebih menguat terutama
di daerah-daerah 3T. Ada banyak organisasi keagamaan yang berkontribusi di
bidang ini. Sementara bidang ini penting agar tidak terjadi kesenjangan yang
terlalu lebar antara masyarakat di perkotaan dengan daerah-daerah 3T. Selain
itu, pemberdayaan ini akan menguatkan pertahanan dan keamanaan negara. Hal lain
adalah reservasi lingkungan. Begitu banyak daerah 3T yang terhubung dengan
lingkungan penyanggah ketahanan iklim nasional bahkan global. Pemberdayaan
masyarakat daerah 3T pada akhirnya dapat diharapkan berkontribusi terhadap
kelestarian lingkungan.
Aspek lain yang tidak bisa diabaikan adalah pembinaan keagamaan pengelola pemerintahan dan negara. Selain penegakan hukum yang tegas, pembinaan keagamaan diperlukan sebagai preventif. Iman, takwa, dan keyakinan keagamaan dikuatkan secara berkelanjutan. Para pemimpin negara memberikan teladan. Tidak hanya pada ritual, mereka juga teladan dalam ketegasan prinsip. Korupsi dan praktik kotor lainnya dijauhi. Pejabat dan staf yang terbukti menyalahgunakan wewenang, selain dihukum lewat pengadilan, juga disanksi dengan tidak berkesempatan lagi menjadi abdi negara. Agama tidak lagi menjadi penghias bibir, tapi terwujudkan dalam tindakan.
Terakhir, sebagai penutup, kiranya perlu pemerintah membuat wadah komunikasi dengan organisasi-organisasi masyarakat berbasis keagamaan. Wadah komunikasi bersifat tetap dan rutin. Bahkan jika mungkin suatu regulasi diberlakukan bahwa undang-undang serta turunannya harus diuji terlebih dahulu oleh organisasi-organisasi masyarakat berbasis keagamaan. Dengan demikian nilai agama lebih terserap dalam kebijakan-kebijakan agama. Tergambar jelas peranan agama, yakni membangun jiwa bangsa. Sesuai salah satu bait lagu Indonesia Raya, “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.”
Wallah a’lam.
Fu’ad Fahrudin,
Kader Hidayatullah DIY - Jateng Bagian Selatan, Alumni Hidayatullah Institute Angkatan ke-10.
Post a Comment