Digitalisasi
Saat aplikasi terpasang di piranti, seseorang atau satu komunitas bisa dikatakan sudah mulai hidup dalam digitalisasi. Karena sebagian berkas menyangkut dirinya telah diformat dan disimpan dalam bentuk digital. Begitu pula pengolahan dan komunikasinya, bentuknya digital.
Sayangnya kemudian digitalisasi kadang berhenti sampai di aplikasi. Tidak ada perubahan mental pengguna. Profil pengguna masih sama, tidak menunjukkan progresivitas perilaku kehidupan.
Ini terjadi karena digitalisasi dipahami hanya sekedar pasang aplikasi. Tidak ada kesadaran bahwa digitalisasi merupakan satu pijakan untuk membangun mentalitas yang lebih baik. Terlihat tidak ada filosofi dan sistem berpikir yang memadai sebagai framework atas digitalisasi.
Bahwa digitalisasi mengondisikan manusia dalam hubungan yang setara, ini satu filosofi awal yang penting untuk dipahami. Maka dalam satu komunitas terdigital, seseorang memiliki kewajiban dan hak yang setara. Bahkan admin pun, dengan segala keistimewaan yang dimiliki, tunduk pada hubungan yang relatif setara.
Oleh karena itu dalam digitalisasi komunitas perlu siap berbagi: berbagi pemikiran, penilaian, dan kritik.
Elitisme salah satu kontra aksi digitalisasi. Karena elitisme berlawanan dengan kesetaraan yang dibangun oleh digitalisasi. Sehingga baiknya elitisme di periode kehidupan terdahulu bertransformasi menjadi leading creative group, kelompok kreatif yang memandu perjalanan komunitas terdigital. Dengan demikian kehadirannya menjadi kontributif, memperkuat digitalisasi yang sedang berlangsung.
Selain memandu, penguatan leading creative group adalah menginspirasi anggota komunitas lainnya. Agar anggota komunitas terpacu untuk berkontribusi. Apapun yang dipunyai jadi modal kontribusi.
Berikutnya adalah sistem berpikir atau prosedur. Ada runtutan langkah yang perlu diikuti untuk mencapai tujuan. Di atas kertas, sistem berpikir ini harus dipahami terlebih dahulu sebelum masuk ke aplikasi.
Karena sejatinya aplikasi merupakan implementasi dari sistem berpikir. Tanpa sistem berpikir yang kokoh, aplikasi kurang berfungsi dan bermakna. Apalagi jika sistem berpikir lain masuk dalam aplikasi.
Masih baik jika sistem berpikir dalam aplikasi bersifat akomodatif. Celaka jika sifatnya berlawanan. Akhirnya aplikasi malah kontraproduktif.
Komunitas malah merasakan aplikasi sebagai musibah. Apalagi tidak ada back up manual atas aplikasi. Buyar semua impian.
Digitalisasi, secara ringkas, suatu dunia dengan aturannya sendiri. Sementara aturan itu bersifat padu, tidak bisa diambil sebagian dan dibuang sebagian. Di situlah kunci sukses berdigital. Tua atau muda, itu mitos belaka.
Wallahu a'lam.
Fu'ad Fahrudin, Sekretaris DPW Hidayatullah DIY-Jatengbagsel
Post a Comment