Ilmu, Guru, dan Transformasi Ilmu dalam Membangun Peradaban Islam
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang
kepada kalian hingga kalian mengikuti agama
mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang
benar).’ Dan sesungguhnya jika kalian mengikuti
kemauan mereka setelah
ilmu datang kepadamu,
maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong
kalian.” (Terjemah Q.S. Al-Baqarah: 120)
Ayat ini juga berlaku kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan pengajaran wahyu, maka mereka tidak boleh mengikuti Yahudi dan Nasrani. Karena mengikuti keduanya berarti kesesatan.
Hal menarik di sini adalah penggunaan kata ‘ilmu’ untuk ‘wahyu’. Ini menunjukkan kemuliaan ilmu. Ini juga menunjukkan bahwa ilmu perlu memiliki karakteristik seperti wahyu.
Dalam Q.S. Al-Isra: 105, karakteristik wahyu adalah benar isinya serta benar jalur periwayatannya. Wahyu tidak salah dan dusta. Wahyu juga diturunkan / diriwayatkan melalui jalur yang benar. Allah subhanahu wa ta’ala menugaskan Jibril alaihissalam untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat menyampaikan kepada tabi’in dan seterusnya hingga tersebar ke seluruh dunia.
Jika demikian, seharusnya ilmu benar secara isi maupun jalur
pengajarannya. Ilmu perlu berisi kebenaran, kepastian, dan tidak
boleh berisi kedustaan. Pengajarannya pun selektif. Seorang guru tidak sembarangan mengajarkan
ilmunya, tapi guru perlu melakukan seleksi. Jika muridnya dianggap lulus, terutama dalam aspek adab
dan niat, maka guru baru akan mengajarkan ilmunya. Dengan demikian, diharapkan ilmu senantiasa dijaga dengan cara
yang benar. Ilmu tidak akan digunakan
untuk mencari keuntungan duniawi, apalagi untuk membodohi orang awam ataupun mendebat orang lain yang berilmu. Inilah
salah satu motivasi ulama mengarang sejumlah kitab tentang adab menuntut
ilmu.
Selanjutnya Imam An-Nafasi rahimahullah menyampaikan, “Hakekat segala sesuatu itu tetap. Sehingga
memiliki ilmu yang jelas atas sesuatu itu sangat mungkin.”
Persoalan yang
kemudian sering muncul, kemalasan menghantui sehingga hakekat sesuatu yang menjadi dasar bagi konstruksi ilmu tidaklah tercapai.
kemudian sering muncul, kemalasan menghantui sehingga hakekat sesuatu yang menjadi dasar bagi konstruksi ilmu tidaklah tercapai.
Kemalasan
ini bisa berawal dari kemalasan berpikir. Tidak ada upaya untuk melakukan
kajian dan penelitian ulang atas apa
yang telah dicapai ilmuwan terdahulu. Tidak ada upaya juga untuk mengembangkan apa yang telah
dicapai ilmuwan terdahulu. Sehingga ilmu yang ada
macet.
Terlebih lagi jika kemalasan
mental muncul, kemacetan
ilmu dianggap sebagai
puncak keilmuan yang tidak
boleh dikritik. Siapapun yang mengkritik akan dianggap sebagai pemberontak. Padahal Islam melalui Al-Qur’an mengajak
umatnya untuk tidak taklid buta kepada pendahulu, tetapi mengkaji lebih mendalam
lagi. Ini salah satunya
terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah:
170.
Jika seseorang
memiliki ilmul yaqin terkait surga, ia seakan-akan merasakan keindahan surga. Ia pun termotivasi untuk beramal
shaleh untuk mendapatkan surga. Mungkin segala sumber daya akan dikerahkan.
Ciri
lain pemilik ilmul yaqin adalah kesadaran untuk meningkat ke derajat
berikutnya: ainul yaqin. Setelah
mendapatkan informasi yang lengkap tentang sesuatu dan bersikap benar, pemiliki ilmul yaqin berusaha menambah ilmu
sekaligus menambah kedekatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga ia semakin termotivasi, semakin siap untuk
berkorban. Baginya apa yang ada di tangan saat ini
hanyalah sarana menuju sesuatu yang jauh lebih baik.
Sebagian ulama kemudian menambahkan derajat yang paling tinggi: haqqul
yaqin. Dalam derajat ini, keyakinan
telah menyatu dengan dirinya. Sehingga apapun yang terucap, apapun yang dilakukan, bahkan apapun yang
dibelanjakan, semuanya mencerminkan keyakinannya. Orang lain yang melihat pemilik haqqul yaqin, bi
idznillah, akan ikut tergerak. Bahkan mungkin orang lain siap menjadi
pengikutnya.
Demikianlah konsep ilmu dalam Islam. Ilmu tidak menjadi
konsumsi akal saja tetapi bertransformasi menjadi gerak tindakan.
Ilmu tidak hanya tersimpan tetapi mewujud dalam aksi nyata. Sehingga orang berilmu dalam Islam
dapat dijadikan teladan.
Konsep ilmu dalam Islam ini kemudian menjadi tantangan
bagi guru. Karena guru tidak sekedar
memberitahukan sebuah ilmu. Akan tetapi, lebih dari itu, guru perlu
mengantarkan murid kepada penguasaan konstruksi dan kemuliaan
ilmu. Bahkan diharapkan guru mampu mengantarkan murid memiliki ilmul yaqin.
Sehingga murid tidak hanya mengonsumsi ilmu di akal tetapi mentransformasikan ilmu menjadi iman, takwa, dan amal
shaleh. Selanjutnya ketiga entitas ini bisa menjadi modal bagi terbangunnya sebuah peradaban yang penuh barakah
Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-A’raf:
96.
Pepatah
Arab mengatakan,
فاقد الشئ ال يعطى
“Seseorang yang tidak memiliki, ia tidak akan mampu memberi.”
فاقد الشئ ال يعطى
“Seseorang yang tidak memiliki, ia tidak akan mampu memberi.”
Dari pepatah
ini, sebuah pengertian dapat diambil bahwa guru yang tidak memiliki
penguasaan terhadap konstruksi ilmu, ia tidak akan mampu mengantarkan
muridnya mencapai sebuah penguasaan.
Bahkan bisa jadi seorang guru akan menyesatkan muridnya, jauh dari tujuan semula.
Konstruksi suatu cabang ilmu, menurut As-Sayyid
Ahmad bin Umar Asy-Syathiri dalam muqaddimah kitab Al-Yaqut An-Nafis, dibangun oleh sepuluh unsur:
1. Batasan
2. Topik
3. Manfaat
4. Problema
5. Nama
6. Referensi utama
7. Hukum syar’i di dalamnya
8. Relevansi ilmiah
9. Keutamaan
10. Tokoh-tokohnya
1. Batasan
2. Topik
3. Manfaat
4. Problema
5. Nama
6. Referensi utama
7. Hukum syar’i di dalamnya
8. Relevansi ilmiah
9. Keutamaan
10. Tokoh-tokohnya
Penguasaan yang baik atas konstruksi cabang-cabang ilmu semoga bisa mengantarkan seseorang kepada konstruksi ilmu yang
utuh. Selanjutnya, ia bisa mencapai hakekat ilmu yang benar: takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Ali Imran: 7-9 dan Q.S. Fathir: 28.
Hakekat
ilmu kemudian mengantarkan seseorang kepada kemuliaan ilmu. Ia senantiasa
bertindak dan berkata berdasarkan
ilmu. Apapun yang menjadi produk dirinya, semuanya mencerminkan ilmu. Maka layaklah
ia menjadi pihak di urutan
ketiga setelah Allah
subhanahu wa ta’ala
dan malaikat dalam hal syahadah ilahiyah, sebagaimana disampaikan dalam
Q.S. Ali Imran: 18. Dalam muqaddimah
Adabul ‘Alim Wal Muta’allim, Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari memberi penekanan yang kuat pada aspek ini. Betapa orang
berilmu memiliki kedudukan yang sangat tinggi sehingga penjagaan adab menjadi
kunci pada istiqomahnya
seorang ahli ilmu dalam kedudukan ini.
Selanjutnya dalam rangka mengantarkan murid menjadi pemilik ilmul yaqin, guru perlu memiliki tiga hal sekaligus: materi (madah), metode (thariqah), dan ruh imani. Dengan materi yang lengkap, seorang guru diharapkan bisa mendeskripsikan sebuah konsep secara utuh dan benar kepada murid. Dengan metode yang pas, seorang guru diharapkan bisa mengantarkan murid membangun konsep secara kokoh.
Adapun dengan ruh imani, seorang guru diharapkan bisa menjadi
inspirasi hidup bagi murid. Sehingga murid diharapkan bisa mengikat seluruh
ilmu yang didapat lewat makna yang indah sekaligus
menyentuh.
Dari
sinilah guru Islami ditantang untuk senantiasa meningkatkan dirinya: ruhiyah,
sikap, dan pengetahuannya. Berhenti
meningkatkan diri berarti berhenti untuk menemukan hakekat sebuah ilmu, berhenti untuk membangun konstruksi
ilmu, serta berhenti dari menginspirasi murid. Dari sinilah sebuah peradaban berhenti menemukan daya tahan hidupnya.
Dalam sekejap peradaban itu bisa punah.
Guru
yang terus meningkatkan diri, itulah penggerak peradaban sejati. Guru sendiri bisa mewujud dalam berbagai bentuk: guru di kelas, guru di majelis
taklim, da’i, muballigh, terutama ulama.
Dalam bentuk apapun, sekali lagi, dialah sang penggerak peradaban sejati.
Kepadanyalah takzhim dihaturkan. Wallahu
a’lam.
Post a Comment