Header Ads

Ayah Yang Mengejakan Cinta

 

     Ayah, sebagaimana umumnya, kepadanya nasab disandarkan. Kepadanya status kepala keluarga disematkan. Segala aduan dan keputusan sangat mungkin dibuat berdasarkan arahannya. Lebih istimewa lagi, dalam Islam, ijab nikah diucapkan olehnya. Selagi dia masih hidup dan sanggup, tak sah sebuah nikah tanpanya.

Ayah juga, sebagaimana dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6, pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarga. Dia tidak boleh memikirkan dirinya saja tapi juga keluarganya. Perlu dia mendidik dirinya sendiri dan keluarganya agar senantiasa baik. Sehingga sekeluarga selamat dari ancaman neraka.

Jika dia peduli hanya kepada dirinya dan tidak peduli kepada keluarganya, tidaklah mudah baginya di akherat kelak. Dia akan ditanya, mengapa tidak ada pendidikan untuk keluarga. Apatah lagi jika dia tidak peduli untuk mendidik dirinya dan keluarganya, sungguh situasi akherat kelak sangat jauh dari kata mudah.

Inilah ayah, sesosok lelaki yang dituntut untuk peduli kepada dirinya dan keluarganya. Jika dia ingin baik, maka dirinya perlu diperbaiki, juga keluarganya. Pendidikan dan pensuasanaan perlu diatur sedemikian rupa agar seluruh anggota bisa melakukan hal-hal yang baik.

Kepedulian ayah juga berkait dengan keadilan. Bila terkait dengan makanan, hendaklah semua anggota keluarga ikut merasakan. Tidak boleh ada anggota keluarga yang terlupakan. Begitu pula dengan hal lain semisal uang dan pakaian, hendaklah setiap anggota keluarga mendapatkan bagiannya.

Oleh karena itu, guna menjaga keadilan, ayah diharapkan senantiasa stabil. Salah satu caranya mengelola perasaan. Labilitas perasaan dijaga agar tidak terlalu lebar. Terlalu gembira ataupun sedih, kedua keadaan tersebut bisa mempengaruhi stabilitas emosi. Dari sinilah sebagian ayah terlihat selalu serius.

Karena keseriusan ini, kadang ayah dijauhi oleh anak-anaknya. Apalagi jika ayah sibuk bekerja, semakin segan anak-anak mendekati. Ditambah lagi kecenderungan ayah yang logis sehingga respon ayah terdengar kurang empati. Padahal solusi, menurut ayah, bentuk empati yang sangat tinggi.

Ibu kemudian lebih dipilih anak untuk mencurahkan perasaan dan pikiran, bahkan keinginan. Ibu dinilai lebih berperasaan sehingga mudah menangkap keinginan anak dan sekaligus mengiyakan. Di sisi lain, kadang anak hanya butuh teman bercerita. Anak tidak butuh solusi. Ibu dinilai bisa menjadi pendengar yang baik tanpa memberi penilaian ataupun solusi.

Kurang dekatnya anak dan ayah menjadi tantangan ayah. Karena beberapa ayah memiliki harapan yang tinggi kepada anak. Ada harapan terkait nilai-nilai ideologis, ada pula terkait nilai moral, ada pula materi. Ketika anak dekat dengan ayah, ayah bisa merasa lebih leluasa mengarahkan anak. Akan tetapi, ketika jauh, ayah merasa lebih sulit.

Ditarik ke belakang, awalnya mungkin ayah kurang dekat dengan anak. Tuntutan ekonomi keluarga menjadikan ayah lebih banyak di luar rumah. Kedekatan dengan anak tidak terbangun sejak anak masih kecil. Sehingga saat anak besar, ayah kesulitan membangun komunikasi yang mendalam.

Hal lainnya mungkin ayah jarang kontak fisik dengan anak saat anak berusia dini. Bisa jadi ini disebabkan kerangka berpikir ayah bahwa anak usia dini milik ibu. Bisa jadi ayah tidak terampil mengasuh anak usia dini.

Hal ini dialami oleh salah seorang sahabat sebagaimana diceritakan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Suatu ketika ia melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan radhiyallahu ‘anhuma, cucu beliau. Sahabat ini berkomentar, “Aku punya sepuluh anak dan aku belum pernah mencium satu pun di antara mereka.”  

Mendengar komentar tersebut, beliau bersabda, “Siapa yang tidak menyayangi, ia tidak disayangi.”

Inilah kompleksitas dari sosok seorang ayah. Mungkin semakin menarik jika sosok-sosok ayah teladan ditampilkan. Teladan bukan sembarang teladan, tapi mereka teladan menurut Allah subhanahu wa ta’ala. Nama-nama mereka diabadikan dalam Al-Qur’an. 

Sosok ayah teladan yang sulit ditandingi, mungkin beliau Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Beliau mendapat gelar abul anbiya (ayah dari para nabi). Tidak cukup itu saja, beliau mendapat gelar khalilullah (kekasih Allah) sebagaimana dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 125.

Tentu saja, gelaran-gelaran tersebut tidak sembarang. Ada serangkaian ujian panjang yang perlu dilalui. Masya Allah, beliau lulus di semua ujian.

Ketika masih bujang beliau berani mengajak sang ayah untuk bertauhid dan berbuah pengusiran kepada diri beliau. Beliau berani menghancurkan patung-patung dan berbuah pembakaran diri beliau. Itu semua tak menyurutkan langkah beliau untuk terus menggenggam nilai-nilai tauhid.

Berikutnya setelah menikah, kuatnya tauhid masih ditemukan. Meskipun belum dikaruniai anak, beliau terus berdoa. Tidak terlihat beliau lelah. Bahkan dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 39, beliau bersyukur dikaruniai anak di usia sangat tua. Betapa tauhid melahirkan kesabaran, ketabahan, dan kesyukuran. Tidaklah beliau mengingat-ingat atau menyebut-nyebut lelahnya berdoa. Pujian saja yang beliau panjatkan.

Ternyata ujian tauhid belum selesai. Saat anaknya lahir, Nabi Ibrahim mendapatkan ujian tauhid lagi. Sang anak dan juga ibu dari sang anak perlu ditempatkan di sebuah lembah yang tandus.

Keteguhan Nabi Ibrahim diuji. Masya Allah, beliau lulus. Beliau tegar menempatkan buah hati dan istrinya di sebuah lembah nan tandus. Beliau yakin bahwa Allah ta’ala akan menjaga keduanya. Keterpisahan tidaklah merisaukan dirinya.

Waktu kemudian mencatatkan betapa ketegaran Nabi Ibrahim dan keluarganya menggoreskan sejarah baru untuk umat manusia. Lembah tandus yang bernama Bakkah kemudian berubah wujud menjadi kumpulan manusia. Air yang tadinya tiada, kini melimpah. Pepohonan mulai bertumbuhan. Ternak mulai bisa digembalakan.

Lebih dari itu, sebuah pusat peribadatan dikokohkan kembali. Ka’bah namanya. Manusia kemudian berbondong-bondong untuk mendatanginya. Di sini nama Allah ta’ala diagungkan. Segenap kerinduan kepada-Nya ditumpahkan.

Setelah diuji keterpisahan dengan anak, kembali Nabi Ibrahim mendapat ujian. Bisa dikatakan kali ini ujiannya lebih berat. Ia diminta untuk menyembelih anaknya.

Namun Nabi Ibrahim bukanlah ayah sembarangan. Ia ayah bertauhid. Ia kokoh menjalankan perintah Tuhannya.

Lebih menarik, Nabi Ibrahim tidak monolog dan instruktif. Bahkan ia membuka pintu dialog. Karena pembuktian tauhid perlu diarungi dan dinikmati bersama. Ayah dan anak yang terlibat dalam perintah perlu saling ridha.

Nabi Ismail ‘alaihissalam, sang putra, menyambut dialog sang ayah. Ia siap menyertai sang ayah dalam pembuktian tauhid. Nabi Ismail telah memiliki kesadaran bahwa dirinya dan hidupnya dimiliki Tuhannya.

Ada ikatan yang kuat antara kedua orang ayah dan anak ini. Kesamaan pemahaman dan perasaan melahirkan kesamaan kesiapan. Keduanya rela memberikan sesuatu yang terbaik untuk Tuhan mereka.

Nabi Ismail yang pernah ditinggalkan di padang tandus saat bayi tidak dendam kepada sang ayah. Narasi yang dipahaminya sangat positif bahkan menggerakkan. Sang ayah ternyata diberi kelebihan oleh Allah ta’ala dalam mengembangkan narasi dan logika positif.

Dari sini sesuatu dapat dipahami bahwa tauhid melahirkan narasi positif bahkan menggerakkan. Oleh karena itu, ayah perlu memiliki tauhid yang kuat. Jika mungkin, hal ini dibangun sejak ayah masih bujang. Agar saat berumah tangga, tauhid ayah sudah sangat mapan.

Tidak hanya Nabi Ismail, Nabi Ishaq ‘alaihissalam sang putra kedua juga mengikuti semangat tauhid yang sama. Selanjutnya, putra Nabi Ishaq yang bernama Nabi Ya’qub ‘alaihissalam meniti jalan yang sama.   

Salah satu momentum tauhid Nabi Ya’qub adalah pertanyaannya sebelum wafat. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 133, beliau bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah setelah aku meninggal?”

Anak-anak beliau menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, wahai Ayah.”

Nabi Ya’qub tidak mengkhawatirkan rezeki anak-anaknya. Beliau yakin bahwa rezeki telah diatur oleh-Nya. Apalagi manusia telah diberi naluri. Jika lapar, manusia akan mencari makan; jika haus, manusia akan minum; dan seterusnya.

Nabi Ya’qub mengkhawatirkan keimanan anak-anaknya. Karena cobaan iman demikian dahsyat. Sudah sunnatullah, manusia digoda dari dalam maupun luar dirinya. Ada hawa nafsu, di saat bersamaan ada setan. Saat keduanya bersatu menggoda manusia untuk keluar dari iman, manusia akan mendapatkan cobaan yang sangat berat.

Nabi Ya’qub khawatir anak-anaknya tidak kuat dengan cobaan berat ini. Sehingga saat akan wafat, beliau masih meyakinkan dirinya dan juga anak-anaknya agar istiqomah di jalan iman. Dapat dikatakan bahwa beliau menjalankan fungsi keayahan sampai hembusan nafas terakhir, masya Allah.

Dari beliau dapat diambil pelajaran betapa ayah perlu terus menguatkan keyakinan iman di dada anak-anaknya. Usia tidak menjadi alibi. Walaupun anak-anaknya telah beranak, ayah terus berikhtiar.

Ini berimplikasi perlunya ayah menguatkan kesehatan sepanjang usianya. Berbagai ikhtiar dapat dilakukan. Agar ia dapat mendampingi iman anak dan mungkin juga cucunya.

Ia pun diharapkan terus belajar. Agar ilmu mewujud menjadi nilai moral. Keluarga mempraktekkan nilai moral itu dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam menjalankan nilai moral tersebut, perlu ayah menjaga keadilan. Dalam hal ini, ada satu pelajaran dari Nabi Muhammad, “Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (Terjemah hadits riwayat Bukhari)

Sekiranya ayah tidak adil, iri dengki bisa jadi muncul di antara anak-anaknya. Di usia dini, kedengkian ini belum begitu mengganggu. Akan tetapi saat anak-anak sudah dewasa, kedengkian yang ada bisa melahirkan permusuhan. Akibat berikutnya, bisa jadi orangtua tidak akan diurus. Anak-anak lebih suka mengurus perebutan harta. Na’udzubillah.

Situasi iri dengki di antara anak-anak bisa semakin parah manakala anak-anak terbiasa hidup enak sejak kecil. Tidak ada keterlibatan anak-anak dalam urusan pekerjaan rumah. Tidak pernah anak memegang sapu, pel, bahkan pemotong rumput.

Kembali teladan Nabi Muhammad ditengok. Suatu ketika Fatimah radhiyallahu ‘anha, putri beliau, meminta kepada beliau seorang pembantu. Namun beliau menolak. Beliau memberikan alternatif lainnya, yakni serangkaian wirid bakda shalat. Dengan membaca wirid ini, diharapkan jasmani kuat dan aneka masalah lewat.

Nabi Muhammad seakan menitipkan sebuah pesan, masalah pribadi dan keluarga hendaklah diselesaikan oleh orang-orang dalam keluarga tersebut. Agar kuat, orang-orang dalam keluarga tersebut perlu membangun kekuatan. Salah satunya lewat ruhiyah.

Dengan demikian, setiap orang dalam keluarga tidaklah manja tetapi berkontribusi. Ada latihan untuk membangun kesadaran tentang masalah internal, kemudian menyelesaikannya dengan kekuatan sendiri. Pihak eksternal membantu saja.

Ini terlihat sepele. Akan tetapi ini menjadi penting. Dalam dunia pergaulan yang kompleks, kemandirian menyelesaikan masalah pribadi dan lingkaran terdekat menjadi keterampilan yang penting. Saat urusan internal selesai, diharapkan kontribusi kepada pihak eksternal optimal. Jika ayah sibuk di urusan RT misalnya, anak-anak bisa membantu ibu di rumah. Sehingga keluarga lewat ayah bisa berkontribusi kepada lingkungan, urusan rumah beres.

Kerapkali ditemukan ada orangtua yang sukses dalam karir namun kurang sukses dalam keluarga. Kemungkinan besar tidak ada keseimbangan dalam pengelolaan rumah tangga. Apalagi anak-anak tidak dilibatkan sejak awal untuk membantu. Akhirnya saat anak-anak menjadi remaja dan dewasa, mereka masih menjadi beban. Padahal amanah eksternal orangtua sudah sedemikian rumit.

Dalam dunia kerja, kemandirian menyelesaikan masalah internal penting bagi karir seseorang. Dalam satu ilustrasi, ada seorang kepala bagian bisa mengidentifikasi masalah di area kerjanya lalu menyelesaikannya. Dalam ilustrasi lainnya, ada seorang kepala bagian tidak bisa mengidentifikasi masalah di area kerjanya malah menyalahkan bagian lain. Kepala bagian mana yang mendapat poin kepercayaan lebih tinggi, ini bisa ditebak dengan mudah insya Allah.

Ayah perlu memiliki aneka cara agar anak-anaknya berkontribusi pada urusan rumah tangga. Salah satunya lewat dialog. Ayah dan anak saling memberikan pendapat serta tanggapan atas gagasan atau apapun yang terlintas. 

Salah satu contoh dialog yang menginspirasi adalah dialog Nabi Ya’qub ‘alaihissalam dengan putranya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 4-5. Setelah bermimpi, Nabi Yusuf menceritakan kepada sang ayah, “Wahai Ayah, dalam mimpiku aku melihat sebelas bintang, matahari, dan rembulan. Mereka semua bersujud kepadaku.”

Sang ayah menjawab, “Wahai anakku, janganlah kau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu.”

Dialog ayah dan anak memberikan gambaran hubungan yang hangat dan dekat. Sehingga sebuah pelajaran dapat diambil, ayah yang bertauhid kuat memiliki peluang untuk membangun hubungan yang kuat dan dekat dengan anak. Citra ayah kuat yang terlihat serius dan jauh dari anak perlu direvisi.

Ayah bertauhid kuat sosok yang hangat dan dekat dengan anak. Ia menginspirasi. Ia mengajarkan anak tentang dunia. Bahkan mungkin ia orang yang pertama kali mengejakan cinta kepada ananda dan akan selalu mengejakan cinta dalam rangkaian-rangkaiannya.

Wallahu a’lam.


Diberdayakan oleh Blogger.