Ayah Yang Mengejakan Cinta
Ayah juga, sebagaimana dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim ayat 6, pihak
yang akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarga. Dia tidak boleh memikirkan
dirinya saja tapi juga keluarganya. Perlu dia mendidik dirinya sendiri dan keluarganya
agar senantiasa baik. Sehingga sekeluarga selamat dari ancaman neraka.
Jika dia peduli hanya kepada dirinya dan tidak peduli kepada
keluarganya, tidaklah mudah baginya di akherat kelak. Dia akan ditanya, mengapa
tidak ada pendidikan untuk keluarga. Apatah lagi jika dia tidak peduli untuk
mendidik dirinya dan keluarganya, sungguh situasi akherat kelak sangat jauh
dari kata mudah.
Inilah ayah, sesosok lelaki yang dituntut untuk peduli kepada dirinya
dan keluarganya. Jika dia ingin baik, maka dirinya perlu diperbaiki, juga
keluarganya. Pendidikan dan pensuasanaan perlu diatur sedemikian rupa agar
seluruh anggota bisa melakukan hal-hal yang baik.
Kepedulian ayah juga berkait dengan keadilan. Bila terkait dengan makanan,
hendaklah semua anggota keluarga ikut merasakan. Tidak boleh ada anggota
keluarga yang terlupakan. Begitu pula dengan hal lain semisal uang dan pakaian,
hendaklah setiap anggota keluarga mendapatkan bagiannya.
Oleh karena itu, guna menjaga keadilan, ayah diharapkan senantiasa
stabil. Salah satu caranya mengelola perasaan. Labilitas perasaan dijaga agar
tidak terlalu lebar. Terlalu gembira ataupun sedih, kedua keadaan tersebut bisa
mempengaruhi stabilitas emosi. Dari sinilah sebagian ayah terlihat selalu
serius.
Karena keseriusan ini, kadang ayah dijauhi oleh anak-anaknya. Apalagi
jika ayah sibuk bekerja, semakin segan anak-anak mendekati. Ditambah lagi kecenderungan
ayah yang logis sehingga respon ayah terdengar kurang empati. Padahal solusi,
menurut ayah, bentuk empati yang sangat tinggi.
Ibu kemudian lebih dipilih anak untuk mencurahkan perasaan dan pikiran,
bahkan keinginan. Ibu dinilai lebih berperasaan sehingga mudah menangkap
keinginan anak dan sekaligus mengiyakan. Di sisi lain, kadang anak hanya butuh
teman bercerita. Anak tidak butuh solusi. Ibu dinilai bisa menjadi pendengar
yang baik tanpa memberi penilaian ataupun solusi.
Kurang dekatnya anak dan ayah menjadi tantangan ayah. Karena beberapa
ayah memiliki harapan yang tinggi kepada anak. Ada harapan terkait nilai-nilai
ideologis, ada pula terkait nilai moral, ada pula materi. Ketika anak dekat
dengan ayah, ayah bisa merasa lebih leluasa mengarahkan anak. Akan tetapi,
ketika jauh, ayah merasa lebih sulit.
Ditarik ke belakang, awalnya mungkin ayah kurang dekat dengan anak. Tuntutan
ekonomi keluarga menjadikan ayah lebih banyak di luar rumah. Kedekatan dengan
anak tidak terbangun sejak anak masih kecil. Sehingga saat anak besar, ayah
kesulitan membangun komunikasi yang mendalam.
Hal lainnya mungkin ayah jarang kontak fisik dengan anak saat anak
berusia dini. Bisa jadi ini disebabkan kerangka berpikir ayah bahwa anak usia
dini milik ibu. Bisa jadi ayah tidak terampil mengasuh anak usia dini.
Hal ini dialami oleh salah seorang sahabat sebagaimana diceritakan dalam
hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Suatu ketika ia melihat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan radhiyallahu ‘anhuma, cucu beliau.
Sahabat ini berkomentar, “Aku punya sepuluh anak dan aku belum pernah mencium
satu pun di antara mereka.”
Mendengar komentar tersebut, beliau bersabda, “Siapa yang tidak
menyayangi, ia tidak disayangi.”
Inilah kompleksitas dari sosok seorang ayah. Mungkin semakin menarik
jika sosok-sosok ayah teladan ditampilkan. Teladan bukan sembarang teladan,
tapi mereka teladan menurut Allah subhanahu wa ta’ala. Nama-nama mereka
diabadikan dalam Al-Qur’an.
Sosok ayah teladan yang sulit ditandingi, mungkin beliau Nabi Ibrahim
‘alaihissalam. Beliau mendapat gelar abul anbiya (ayah dari para nabi). Tidak
cukup itu saja, beliau mendapat gelar khalilullah (kekasih Allah) sebagaimana
dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 125.
Tentu saja, gelaran-gelaran tersebut tidak sembarang. Ada serangkaian
ujian panjang yang perlu dilalui. Masya Allah, beliau lulus di semua ujian.
Ketika masih bujang beliau berani mengajak sang ayah untuk bertauhid dan
berbuah pengusiran kepada diri beliau. Beliau berani menghancurkan
patung-patung dan berbuah pembakaran diri beliau. Itu semua tak menyurutkan
langkah beliau untuk terus menggenggam nilai-nilai tauhid.
Berikutnya setelah menikah, kuatnya tauhid masih ditemukan. Meskipun
belum dikaruniai anak, beliau terus berdoa. Tidak terlihat beliau lelah. Bahkan
dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 39, beliau bersyukur dikaruniai anak di usia
sangat tua. Betapa tauhid melahirkan kesabaran, ketabahan, dan kesyukuran.
Tidaklah beliau mengingat-ingat atau menyebut-nyebut lelahnya berdoa. Pujian
saja yang beliau panjatkan.
Ternyata ujian tauhid belum selesai. Saat anaknya lahir, Nabi Ibrahim mendapatkan
ujian tauhid lagi. Sang anak dan juga ibu dari sang anak perlu ditempatkan di sebuah
lembah yang tandus.
Keteguhan Nabi Ibrahim diuji. Masya Allah, beliau lulus. Beliau tegar menempatkan
buah hati dan istrinya di sebuah lembah nan tandus. Beliau yakin bahwa Allah ta’ala
akan menjaga keduanya. Keterpisahan tidaklah merisaukan dirinya.
Waktu kemudian mencatatkan betapa ketegaran Nabi Ibrahim dan keluarganya
menggoreskan sejarah baru untuk umat manusia. Lembah tandus yang bernama Bakkah
kemudian berubah wujud menjadi kumpulan manusia. Air yang tadinya tiada, kini
melimpah. Pepohonan mulai bertumbuhan. Ternak mulai bisa digembalakan.
Lebih dari itu, sebuah pusat peribadatan dikokohkan kembali. Ka’bah
namanya. Manusia kemudian berbondong-bondong untuk mendatanginya. Di sini nama
Allah ta’ala diagungkan. Segenap kerinduan kepada-Nya ditumpahkan.
Setelah diuji keterpisahan dengan anak, kembali Nabi Ibrahim mendapat
ujian. Bisa dikatakan kali ini ujiannya lebih berat. Ia diminta untuk
menyembelih anaknya.
Namun Nabi Ibrahim bukanlah ayah sembarangan. Ia ayah bertauhid. Ia
kokoh menjalankan perintah Tuhannya.
Lebih menarik, Nabi Ibrahim tidak monolog dan instruktif. Bahkan ia
membuka pintu dialog. Karena pembuktian tauhid perlu diarungi dan dinikmati
bersama. Ayah dan anak yang terlibat dalam perintah perlu saling ridha.
Nabi Ismail ‘alaihissalam, sang putra, menyambut dialog sang ayah. Ia
siap menyertai sang ayah dalam pembuktian tauhid. Nabi Ismail telah memiliki
kesadaran bahwa dirinya dan hidupnya dimiliki Tuhannya.
Ada ikatan yang kuat antara kedua orang ayah dan anak ini. Kesamaan
pemahaman dan perasaan melahirkan kesamaan kesiapan. Keduanya rela memberikan
sesuatu yang terbaik untuk Tuhan mereka.
Nabi Ismail yang pernah ditinggalkan di padang tandus saat bayi tidak
dendam kepada sang ayah. Narasi yang dipahaminya sangat positif bahkan
menggerakkan. Sang ayah ternyata diberi kelebihan oleh Allah ta’ala dalam
mengembangkan narasi dan logika positif.
Dari sini sesuatu dapat dipahami bahwa tauhid melahirkan narasi positif
bahkan menggerakkan. Oleh karena itu, ayah perlu memiliki tauhid yang kuat.
Jika mungkin, hal ini dibangun sejak ayah masih bujang. Agar saat berumah
tangga, tauhid ayah sudah sangat mapan.
Tidak hanya Nabi Ismail, Nabi Ishaq ‘alaihissalam sang putra kedua juga
mengikuti semangat tauhid yang sama. Selanjutnya, putra Nabi Ishaq yang bernama
Nabi Ya’qub ‘alaihissalam meniti jalan yang sama.
Salah satu momentum tauhid Nabi Ya’qub adalah pertanyaannya sebelum
wafat. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 133, beliau
bertanya kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah setelah aku
meninggal?”
Anak-anak beliau menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek
moyangmu, wahai Ayah.”
Nabi Ya’qub tidak mengkhawatirkan rezeki anak-anaknya. Beliau yakin
bahwa rezeki telah diatur oleh-Nya. Apalagi manusia telah diberi naluri. Jika
lapar, manusia akan mencari makan; jika haus, manusia akan minum; dan
seterusnya.
Nabi Ya’qub mengkhawatirkan keimanan anak-anaknya. Karena cobaan iman
demikian dahsyat. Sudah sunnatullah, manusia digoda dari dalam maupun luar
dirinya. Ada hawa nafsu, di saat bersamaan ada setan. Saat keduanya bersatu
menggoda manusia untuk keluar dari iman, manusia akan mendapatkan cobaan yang
sangat berat.
Nabi Ya’qub khawatir anak-anaknya tidak kuat dengan cobaan berat ini.
Sehingga saat akan wafat, beliau masih meyakinkan dirinya dan juga anak-anaknya
agar istiqomah di jalan iman. Dapat dikatakan bahwa beliau menjalankan fungsi
keayahan sampai hembusan nafas terakhir, masya Allah.
Dari beliau dapat diambil pelajaran betapa ayah perlu terus menguatkan
keyakinan iman di dada anak-anaknya. Usia tidak menjadi alibi. Walaupun
anak-anaknya telah beranak, ayah terus berikhtiar.
Ini berimplikasi perlunya ayah menguatkan kesehatan sepanjang usianya. Berbagai
ikhtiar dapat dilakukan. Agar ia dapat mendampingi iman anak dan mungkin juga
cucunya.
Ia pun diharapkan terus belajar. Agar ilmu mewujud menjadi nilai moral.
Keluarga mempraktekkan nilai moral itu dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menjalankan nilai moral tersebut, perlu ayah menjaga keadilan. Dalam
hal ini, ada satu pelajaran dari Nabi Muhammad, “Demi Allah, seandainya Fatimah
putri Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (Terjemah
hadits riwayat Bukhari)
Sekiranya ayah tidak adil, iri dengki bisa jadi muncul di antara
anak-anaknya. Di usia dini, kedengkian ini belum begitu mengganggu. Akan tetapi
saat anak-anak sudah dewasa, kedengkian yang ada bisa melahirkan permusuhan.
Akibat berikutnya, bisa jadi orangtua tidak akan diurus. Anak-anak lebih suka
mengurus perebutan harta. Na’udzubillah.
Situasi iri dengki di antara anak-anak bisa semakin parah manakala
anak-anak terbiasa hidup enak sejak kecil. Tidak ada keterlibatan anak-anak
dalam urusan pekerjaan rumah. Tidak pernah anak memegang sapu, pel, bahkan
pemotong rumput.
Kembali teladan Nabi Muhammad ditengok. Suatu ketika Fatimah
radhiyallahu ‘anha, putri beliau, meminta kepada beliau seorang pembantu. Namun
beliau menolak. Beliau memberikan alternatif lainnya, yakni serangkaian wirid
bakda shalat. Dengan membaca wirid ini, diharapkan jasmani kuat dan aneka
masalah lewat.
Nabi Muhammad seakan menitipkan sebuah pesan, masalah pribadi dan
keluarga hendaklah diselesaikan oleh orang-orang dalam keluarga tersebut. Agar
kuat, orang-orang dalam keluarga tersebut perlu membangun kekuatan. Salah
satunya lewat ruhiyah.
Dengan demikian, setiap orang dalam keluarga tidaklah manja tetapi
berkontribusi. Ada latihan untuk membangun kesadaran tentang masalah internal, kemudian
menyelesaikannya dengan kekuatan sendiri. Pihak eksternal membantu saja.
Ini terlihat sepele. Akan tetapi ini menjadi penting. Dalam dunia
pergaulan yang kompleks, kemandirian menyelesaikan masalah pribadi dan
lingkaran terdekat menjadi keterampilan yang penting. Saat urusan internal
selesai, diharapkan kontribusi kepada pihak eksternal optimal. Jika ayah sibuk
di urusan RT misalnya, anak-anak bisa membantu ibu di rumah. Sehingga keluarga
lewat ayah bisa berkontribusi kepada lingkungan, urusan rumah beres.
Kerapkali ditemukan ada orangtua yang sukses dalam karir namun kurang
sukses dalam keluarga. Kemungkinan besar tidak ada keseimbangan dalam
pengelolaan rumah tangga. Apalagi anak-anak tidak dilibatkan sejak awal untuk
membantu. Akhirnya saat anak-anak menjadi remaja dan dewasa, mereka masih
menjadi beban. Padahal amanah eksternal orangtua sudah sedemikian rumit.
Dalam dunia kerja, kemandirian menyelesaikan masalah internal penting
bagi karir seseorang. Dalam satu ilustrasi, ada seorang kepala bagian bisa
mengidentifikasi masalah di area kerjanya lalu menyelesaikannya. Dalam
ilustrasi lainnya, ada seorang kepala bagian tidak bisa mengidentifikasi
masalah di area kerjanya malah menyalahkan bagian lain. Kepala bagian mana yang
mendapat poin kepercayaan lebih tinggi, ini bisa ditebak dengan mudah insya
Allah.
Ayah perlu memiliki aneka cara agar anak-anaknya berkontribusi pada
urusan rumah tangga. Salah satunya lewat dialog. Ayah dan anak saling
memberikan pendapat serta tanggapan atas gagasan atau apapun yang terlintas.
Salah satu contoh dialog yang menginspirasi adalah dialog Nabi Ya’qub
‘alaihissalam dengan putranya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Ini diabadikan dalam
Al-Qur’an surat Yusuf ayat 4-5. Setelah bermimpi, Nabi Yusuf menceritakan
kepada sang ayah, “Wahai Ayah, dalam mimpiku aku melihat sebelas bintang,
matahari, dan rembulan. Mereka semua bersujud kepadaku.”
Sang ayah menjawab, “Wahai anakku, janganlah kau ceritakan mimpimu
kepada saudara-saudaramu.”
Dialog ayah dan anak memberikan gambaran hubungan yang hangat dan dekat.
Sehingga sebuah pelajaran dapat diambil, ayah yang bertauhid kuat memiliki
peluang untuk membangun hubungan yang kuat dan dekat dengan anak. Citra ayah
kuat yang terlihat serius dan jauh dari anak perlu direvisi.
Ayah bertauhid kuat sosok yang hangat dan dekat dengan anak. Ia
menginspirasi. Ia mengajarkan anak tentang dunia. Bahkan mungkin ia orang yang
pertama kali mengejakan cinta kepada ananda dan akan selalu mengejakan cinta
dalam rangkaian-rangkaiannya.
Wallahu a’lam.
Post a Comment