Header Ads

Energi Hamdalah dalam Jiwa Guru



"Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”
(Terjemah Q.S. Al-Fatihah: 2)
 
Ayat ini panduan seorang muslim dalam bersyukur. Segala sesuatu datang dari Allah ta’ala. Sehingga Dia yang paling berhak mendapatkan pujian, bahkan semua pujian.

Bisa dikatakan semua muslim mengetahui dan menjalankannya. Saat mereka mendapatkan kesenangan, hamdalah diucapkan. Begitu pula saat ada pujian, hamdalah juga dipanjatkan. Agar pujian tidak melenakan, tidak pula menjadi jalan timbulnya ‘ain.

Bahkan sebagian muslim biasa mengucapkan hamdalah atas segala sesuatu sebagai tindakan ikut sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana diketahui, beliau mengucapkan “alhamdulillah alladzi bini’matihi tatimmush shalihat” saat menerima kesenangan. Sementara itu beliau mengucapkan “alhamdulillah ‘ala kulli hal” saat berada di tengah kesulitan.

Pengucapan hamdalah di setiap situasi merupakan husnuzhan, tidaklah Allah ta’ala berketetapan kecuali itu bersifat baik. Dalam situasi yang baik dan buruk pasti ada kebaikan yang bisa dipetik. Jika di satu momen, suatu kebaikan belum tampak, bisa jadi ada keterbatasan untuk menangkap sinyal-sinyal kebaikan yang dikirimkan.

Sementara itu, ada lafazh ‘rabbul ‘alamin’, Tuhan semesta alam. Maknanya betapa luas kuasa-Nya. Ada kuasa yang terlihat, ada pula yang tidak. Manusia penuh dengan keterbatasn untuk menyibak atau menggapai sesuatu yang bersifat di atas kuasa manusia.

Pemahaman dan penghayatan atas makna ‘rabbul ‘alamin’ semoga mendobrak keterbatasan hamba dalam berhusnuzhan. Dengan menghayati bahwa Allah ta’ala Maha Luas sementara manusia terbatas, semoga senantiasa hati dan pikiran positif. Sehingga emosi dan jiwa senantiasa potisif pula.

Lebih dalam lagi, hendaklah pemaknaan ‘rabbul ‘alamin’ melahirkan motivasi untuk lebih mengenal alam. Apa, siapa, dan bagaimana karakteristik alam menjadi perhatian. Sehingga ada tindakan mendekati dan mempelajari, bukan menjauhi, mencela, serta penuh duga-menduga.

Dengan tindakan semacam itu kiranya akan ada proporsionalitas dalam bersikap. Sesuatu atau seseorang dengan kebaikan lebih banyak dari keburukan akan didekati. Sebaliknya sikap menjauh dipilih saat keburukan lebih banyak.

Dalam hal berdekat-dekat dengan sesuatu atau seseorang yang masih memiliki keburukan, maka beberapa pertimbangan diperhatikan. Jika akibat buruk masih bisa dikelola, maka pengelolaan dilakukan. Jika tidak, maka antisipasi dipilih.

Inilah energi hamdalah bagi setiap muslim. Ada dorongan yang dihasilkan untuk bergerak dalam kebaikan, juga dialog serta bertukar dengan komunitas yang luas. Tidaklah muslim itu menutup dirinya.

Adapun bagi seorang guru, bila kemudian dieksplorasi lebih jauh, energi hamdalah hendaklah terus dijaga. Karena energi positif dan berkesinambungan dari hamdalah memiliki pengaruh signifikan bagi guru dan murid. Guru senantiasa bersemangat dalam kebaikan, sementara murid bersemangat dalam mengeksplorasi dunia sekelilingnya.

Dengan energi hamdalah, guru akan melihat banyak situasi sebagai karunia dari Allah ta’ala. Sehingga keluh kesah akan relatif tiada, berganti dengan munajat dan mujahadah. Sesekali musyawarah dilakukan dengan pihak-pihak yang otoritatif dan kompeten.

Dengan energi hamdalah, guru akan melihat berbagai capaian sebagai kemurahan-Nya. Sehingga tak kemudian guru menepuk dada. Namun guru menyatakan semua pihak berkontribusi dalam mencapai berbagai capaian tersebut. 

Di sisi lain, guru akan terus lapar prestasi. Catatan tebalnya, bukan atas nama pribadi, tapi karena guru menemukan samudera ilmu-Nya yang tak hingga. Tak ingin rasanya berhenti berenang sekaligus mereguk sajian yang terpajang di depan mata.

Dengan energi hamdalah juga, guru siap bertemu dengan komunitas-komunitas. Guru memahami alam sedemikian luas. Begitu banyak keragaman. Sementara keragaman itu menyimpan mutu manikam aneka kehidupan. Interaksi positif, didasari keluasan alam Allah ta’ala, diharapkan dapat mengeluarkan mutu manikam itu ke permukaan. Guru semakin kaya, terutama batinnya.

Sebagai persiapan, guru bersiap belajar bahasa dan standar-standar komunitas internasional. Gapaian yang dipatok juga tidak remeh temeh. Karena guru tidak ingin menjadi penonton belaka, tapi pemain; tak ingin jadi pecundang, walaupun bukan juara teratas.

Selanjutnya dalam pergaulan di tengah komunitas internasional, guru menyadari potensi konflik yang tidak kecil. Namun guru juga sadar Allah ta’ala sandaran utama. Kepada-Nya harapan ditujukan, permohonan pertolongan dipanjatkan. Semoga segalanya lebih mudah dilalui.

Guru dengan energi hamdalah akan membawa murid-muridnya kepada dunia. Tak segan guru tunjukkan harapan agar murid-muridnya berkelana menyusuri dunia. Bukan untuk wisata, bukan pula dalam inferioritas, tapi dalam semangat ‘Allah Tuhan semesta alam’. Sehingga dialog antarperadaban dapat terjadi, bukan saling menghina apatah saling menjajah.

Para murid dilatih bersikap. Ada hal yang boleh diikuti, ada yang tidak. Apa yang tidak selaras dengan aturan Allah ta’ala harus dijauhi. Apa yang selaras boleh diikuti bahkan dikembangkan.

Dalam ketidaksetujuan, para murid dilatih untuk berkomunikasi asertif. Dialog dikedepankan. Meskipun demikian, para murid juga dilatih untuk mempertahankan diri saat paksaan terjadi. Bagaimanapun kekerasan tidaklah diiinginkan.

Di tingkat lembaga pendidikan, energi hamdalah perlu mewujud pada berbagai kebijakan yang mendukung interaksi guru dan murid dengan aneka ragam kehidupan. Berbagai wadah mungkin diperlukan. Budaya juga dibangun.

Guru dan murid perlu diposisikan sebagai pesawat yang siap tinggal landas. Pemacuan terus dilakukan. Sehingga gapaian seluas dan setinggi cakrawala dapat tersentuh.

Jika perlu ada kebijakan individualisasi guru. Setiap guru dipetakan kebutuhannya, lalu difasilitasi untuk berkembang. Pendampingan intensif semisal coaching mungkin juga diperlukan.

Inilah energi ekplorasi peradaban. Para ulama dahulu, terutama ulama hadits, telah mencontohkan. Interaksi antarperadaban, sebagai istilah alternatif dari globalisasi, bukanlah sesuatu yang asing untuk para civitas akademika muslim.

Saatnya untuk mengekstraksi kembali energi ini. Sehingga langkah-langkah yang diayunkan mantap, tak ada lagi ragu. Tak ada lagi inferioritas. Semuanya berawal dan juga diakhiri oleh satu landasan ‘Allah Tuhan alam semesta, Pemilik alam semesta’. Perjalanan yang disusuri hakekatnya perjalanan menuju-Nya, bersama-Nya, dan menampilkan kebesaran-Nya.

Wallahu a’lam.
 
(Fu’ad Fahrudin, Guru di SDIT Al-Madinah, Hidayatullah Kebumen)
 
Diberdayakan oleh Blogger.