Anak Yang Mencela Jalan Kebaikan Orangtuanya
“Dan Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Ibunya mengandung sampai menyapihnya dalam tiga puluh bulan. Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal baik mereka, yang telah mereka kerjakan. Dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji benar yang telah dijanjikan kepada mereka. Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya, ‘Ah kamu berdua, apakah kamu berdua memperingatkan aku bahwa aku akan dibangkitkan padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?’ Lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, ‘Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar’. Lalu dia menimpali, ‘Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka’. Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (Terjemah Q.S. Al-Ahqaf: 15-18)
Keempat ayat tersebut terbagi dalam dua klasifikasi besar. Pertama, ayat 15-16 bercerita tentang anak yang terus searah dengan jalan kebaikan orangtua. Momentum kebaikan sang anak ada di usia 40 tahun. Sang anak mendoakan kebaikan untuk tiga pihak: dirinya, orangtuanya, dan juga keturunannya.
Sang anak meneruskan jalan kebaikan orangtuanya. Ini dilakukan dengan membangun fondasi kebaikan untuk keturunannya. Dengan demikian, jalan kebaikan terhubung pada minimal tiga generasi: generasi orangtua yang terdahulu, generasi saat ini, dan generasi masa depan.
Jika kemudian generasi masa depan masih sejalan dengan jalan kebaikan terdahulu, bisa jadi jalan kebaikan terhubung pada sejumlah generasi. Anak, cucu, cicit, dan keturunan berikutnya meniti jalan yang sama, masya Allah. Ini sesuatu yang dirindukan oleh seseorang yang penuh iman, semua anak keturunan bersama di surga nantinya.
Kedua, ayat 17-18 bercerita tentang anak yang tidak lagi searah dengan jalan kebaikan orangtua. Bahkan sang anak mencela orangtua dan jalan kebaikan yang telah dititi orangtua. Sang anak telah memutus jalan kebaikan yang telah dirintis dan dibangun oleh orangtua. Generasi masa depan tidak akan mengenali jalan kebaikan tersebut, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala mengenalkannya lewat orang lain.
Dua potret besar tersebut menggambarkan bahwa tidak selamanya anak berjalan searah dengan orangtuanya. Ada anak yang kemudian memilih berbeda jalan. Akhirnya orangtua berjalan di jalan kebaikan, sementara anak di jalan keburukan. Na’udzubillah.
Tentu orangtua tidak ingin ada perbedaan jalan. Orangtua mengharapkan anak berjalan searah. Tidak peduli sang anak berjalan lebih cepat, sejalur itu jauh lebih penting. Bahkan bisa jadi orangtua bersyukur saat anak melaju lebih cepat.
Dari sini dapatlah dimengerti bahwa salah satu tugas orangtua adalah menjaga anak senantiasa berjalan searah bersamanya. Perlu orangtua melakukan banyak cara agar anak terus berjalan bersama di satu jalan. Salah satunya, perlu orangtua mendeteksi kapan sang anak mulai keluar dari jalur yang dititi. Ibarat ayah dan anak menaiki sepeda yang berbeda, perlu sang ayah mendeteksi kapan anak mulai keluar jalur. Mungkin saat sepeda sang anak mulai menjauh dari sang ayah, saat itulah sepeda mulai mendekati batas jalur. Jika dibiarkan, maka sepeda akan melintas batas. Resiko tertabrak sudah di depan mata. Resiko yang lain, sang anak meninggalkan ayah di jalan yang beda. Na’udzubillah.
Sebagaimana tamsil ayah dan anak bersepeda tersebut, kiranya perlu orangtua memiliki deteksi kapan sang anak mulai menjauh dari jalan orangtua. Semakin dini deteksi yang dilakukan orangtua, semoga semakin dini anak tercegah keluar dari jalan kebaikan. Sehingga anak bisa diselamatkan.
Sejumlah perilaku yang disebutkan dalam ayat 17 dapat menjadi alat mendeteksi dini. Karena perilaku-perilaku tersebut, sebagaimana disebutkan dalam ayat 18, pengulangan saja. Sejumlah orang terdahulu melakukannya. Sehingga jika ada perilaku dari sejumlah perilaku itu muncul pada diri anak, baik jika orangtua waspada.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Bersyukurlah kepada-Ku (Allah) dan kepada kedua orangtuamu.” (Terjemah Q.S. Luqman: 14)
Dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala mensusulkan penyebutan orangtua setelah penyebutan nama-Nya. Ini menunjukkan betapa penting bersikap baik kepada orangtua. Mencela bahkan merendahkan orangtua termasuk perbuatan dosa. Apalagi ada hadits yang berbunyi, “Ridha Allah ada pada ridha kedua orangtua dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan orangtua.” (Terjemah hadits riwayat Tirmidzi)
Perlu seorang anak memahami hal ini. Sebagai salah satu upaya penting, orangtua perlu saling menguatkan satu sama lain agar anak memliki rasa hormat kepada orangtua. Ayah menguatkan ibu, begitu juga ibu kepada ayah.
Hal lain adalah contoh. Perlu orangtua memberi contoh dengan berbakti kepada beliau-beliau yang lebih sepuh. Dengan demikian anak memiliki gambaran nyata tentang bagaimana bersikap baik bahkan berkorban untuk para sesepuh, baik biologis maupun sosiologis.
Doa dan keridhaan orangtua kepada anak juga penting. Ada sebuah pandangan menyatakan, hadits ‘ridha Allah ada pada kedua orangtua’ mengisyaratkan satu kewajiban: orangtua wajib senantiasa ridha kepada anaknya agar Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa ridha kepada sang anak.
Perlu orangtua memiliki kesabaran, lisan dan tangan dijaga. Kata-kata buruk dan pukulan perlu ditimbang. Jika memang memenuhi syarat syar’i seperti anak berusia 10 tahun tidak mau shalat padahal sudah dididik sebelumnya, maka pukulan bisa diberikan. Itupun dengan memperhatikan berbagai sisi.
Hal lain yang juga penting adalah menumbuhkan rasa aman anak dari perilaku-perilaku lisan yang efeknya tidak langsung semisal fitnah, ghibah, ataupun tajassus. Fitnah dapat dipahami sebagai membincangkan hal yang tidak benar tentang orang lain. Tentu ini buruk. Adapun ghibah dapat dipahami sebagai membincangkan hal yang benar dari orang lain namun orang lain tersebut tidak suka. Sementara tajassus dapat dipahami sebagai mencaricari kesalahan orang lain.
Dapat dibayangkan betapa anak merasa tidak aman dan nyaman jika orangtuanya sering berbincang dengan orangtua lain tentang keburukan dirinya. Anak dapat merasa direndahkan bahkan dihinakan. Dendam dalam hati bisa kemudian tumbuh. Jika orangtua tidak segera menetralisir, dendam tersebut dapat tumbuh menjadi tabiat anak. Na’udzubillah.
Sisi lain yang juga penting adalah lingkungan. Bagaimana anak dikondisikan dalam lingkungan yang baik, secara virtual maupun nyata. Tontonan ataupun bacaan anak perlu baik. Demikian pula perlu teman-teman, guru, dan orang dewasa di sekitar anak baik. Akan bertambah baik jika anak mendapat pengalaman bertemu dengan orang-orang yang super baik semisal tokoh agama. Semoga senantiasa anak menyerap kebaikan-kebaikan kemudian meresap dalam dirinya. Semakin lama, semoga tabiat anak tumbuh menjadi baik.
Dapat disimpulkan bahwa orangtua memiliki peranan yang penting dalam membangun sikap positif anak kepada orangtua itu sendiri. Berbagai pengalaman pendidikan diperlukan anak. Perlu orangtua menyiapkannya.
2. Mencela urusan iman
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian merasa lemah dan jangan pula bersedih hati sebab kalian paling tinggi derajatnya jika kalian orang yang beriman.” (Terjemah Q.S. Ali Imran: 139)
Ayat tersebut salah satu saja dari sekian banyak ayat tentang keutamaan iman. Oleh karena itu, perlu urusan iman dipentingkan setiap muslim. Menyepelekan urusan iman merupakan pintu keburukan. Karena setelah iman disepelekan, kemungkinan besar pemilik iman itu akan kehilangan imannya. Allah subhanahu wa ta’ala akan mencabut dari hatinya.
Jika iman telah tiada, kerendahan di depan mata. Tak ada lagi halal haram. Semuanya bisa dilakukan. Yang dikejar hanya kesenangan. Walaupun di balik kesenangan ada penderitaan seperti penyakit, tak ada peduli untuk berhati-hati. Saat derita sudah menimpa, biasanya sesosok manusia tersadar. Taubat pun didekap, iman dicari lagi. Saat itu, segalanya terlambat. Perjumpaan dengan Izrail tinggal menunggu detikan waktu.
Penting anak memahami perihal ini. Oleh karena itu, perlu orangtua membangun pemahaman sekaligus kebiasaan responsif terhadap syiar-syiar Allah subhanahu wa ta’ala. Tak ketingggalan orangtua juga memberikan teladan. Misalnya, saat ada adzan, perlu orangtua bergegas menuju panggilan adzan. Selain itu, orangtua mengajak anak untuk melakukan hal yang sama. Jika ada suara gawai, hendaklah suaranya dipelankan.
Misal lainnya adalah tadarus Al-Qur’an. Sangat baik jika orangtua memberikan contoh. Perlu orangtua rajin bertadarus Al-Qur’an. Selain itu orangtua mengajak anak bertadarus Al-Qur’an. Orangtua juga memberi contoh bersikap saat ada bacaan Al-Qur’an, juga bersikap sopan kepada para guru serta penghafal Al-Qur’an.
Semoga penanaman perilaku-perilaku ini menjadi bibit bagi tumbuhnya penghargaan terhadap urusan iman. Bahkan anak menikmati tumbuhnya iman. Jika demikian, maka diharapkan anak tidak menyepelekan urusan iman. Lebih jauh, anak tumbuh menjadi penyeru-penyeru iman.
Sekali lagi, lingkungan berpotensi memberikan pengaruh negatif. Perlu orangtua mewaspadai hal ini. Kadang sterilisasi diperlukan, anak dijauhkan dari lingkungan negatif. Lebih penting, imunisasi diberikan sebanyak mungkin. Dialog-dialog konstruktif menjadi jalan pentingnya. Diharapkan anak tersadar bahwa banyak fenomena salah di sekitarnya namun ia diharapkan tetap teguh di atas landasan yang benar.
Selain dialog-dialog konstruktif, orangtua dapat membangun kekuatan doa pada diri anak. Orangtua berdoa secara rutin, dan anak pun diajari berdoa secara rutin. Orangtua dan anak sama-sama berpasrah kepada-Nya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melipatgandakan keteguhan.
3. Mempertanyakan urusan iman dengan logika yang dangkal
Iman dapat ditimbang dengan logika. Meskipun demikian iman bukanlah urusan logika saja. Karena logika memiliki batas.
Oleh karena itu, perlu pembahasan iman menggunakan logika yang ditemani keterbukaan hati. Karena iman berkaitan dengan hati. Saat hati terbuka, kemungkinan besar logika akan menerima. Sebaliknya, jika hati tertutup, kemungkinan besar logika akan menolak. Jika ini terjadi, iman sulit tumbuh dalam hati.
Di sisi lain logika memiliki tingkatan, dari rendah ke tinggi. Qadarullah ada orang-orang yang mempertanyakan iman dengan logika rendah. Misalnya tentang kebangkitan dari kubur. Ada orang-orang yang meragukannya karena tidak pernah ada orang yang mati dan dikubur lalu bangkit dari kubur. Ini merupakan kesalahan logika. Karena ada beberapa unsur dari kebangkitan manusia dari dalam kubur, terutama terkait waktunya. Bukan sekarang, tapi waktunya nanti setelah Kiamat.
Jika ingin mengintip perkembangan IPTEK, semoga dapat hati manusia terbuka. Meskipun kontroversial, teknologi biologis memungkinkan kloning. Orang yang telah tiada dapat diupayakan ‘bangkit’ kembali meskipun hanya sama dalam rupa serta jasad. Ini manusia yang memiliki keterbatasan, bagaimana dengan Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak memiliki keterbatasan sama sekali?
Lagi-lagi orangtua memiliki peranan penting. Orangtua perlu mengenalkan sistematika berpikir yang baik. Ini mencakup pengumpulan data, menvalidasi data, menyusun sejumlah premis, hingga mencapai kesimpulan.
Perlu juga orangtua mengenalkan berbagai macam sumber ilmu antara lain pengamatan, pengalaman, dan juga pembacaan. Sehingga ada keterbukaan dari anak terkait ilmu dan pemilik-pemilik ilmu.
Baik juga jika anak diajak menghormati orang berilmu. Sehingga kemungkinan besar anak akan menghormati setiap orang yang ditemuinya. Karena bisa jadi orang-orang yang ditemuinya berilmu dalam bidang masing-masing. Allah subhanahu wa ta’ala sudah menetapkan manusia dengan bakat serta kemampuannya masing-masing.
Hal yang tidak bisa ditinggal, tentu saja, budaya literasi. Karena budaya literasi merupakan rahim pengetahuan bahkan peradaban. Dari literasi, gagasan dan pemikiran dilahirkan. Selanjutnya ada pengorganisasian guna mengimplementasikan gagasan atau pemikiran tersebut. Setelah manfaatnya dirasakan, pengembangan yang lebih inovatif mungkin terjadi. Sehingga bisa kehidupan menjadi lebih sejahtera sekaligus kompleks.
4. Mengacuhkan nama Allah subhanahu wa ta’ala
Allah subhanahu wa ta’ala pencipta alam semesta. Dia juga penguasa dan pengatur. Rezeki untuk seluruh penghuni alam ada dalam pengaturan serta kuasa-Nya. Oleh karena itu, mempedulikan-Nya sangat penting bahkan terpenting dalam kehidupan manusia.
Salah satu wujud mempedulikan-Nya adalah responsif saat nama-Nya disebut. Ada getaran dalam hati, perubahan dalam bahasa tubuh dan juga pada mimik wajah. Hati semakin tunduk, gerakan tubuh terlihat semakin tenang dan stabil, sementara wajah semakin teduh.
Sebaliknya jika manusia tidak mempedulikan-Nya, tidak perubahan apapun dalam hati, tubuh, dan juga mimik wajahnya. Jika sebelumnya beringas, tetaplah ia beringas. Jika sebelumnya tertawa terbahak-bahak, tetaplah ia begitu.
Jika sudah tidak peduli lagi kepada-Nya, juga tidak ada lagi takut atau tunduk kepadaNya, manusia akan menderita. Ibarat anak ayam yang masih sangat kecil kehilangan induknya, kondisi manusia yang tidak peduli kepada-Nya bisa lebih parah. Karena ia bisa kehilangan sumber dari segala sumber kebaikan. Ke manakah ia kan mencari ganti padahal tak kan pernah ada ganti?
Dalam hal ini, sedari kecil, hendaklah seorang anak diajarkan untuk mengenal Allah subhanahu wa ta’ala. Sang anak diberi pemahaman untuk mengenal hak-Nya atas manusia. Keteladanan juga dihadirkan. Semoga saat tumbuh besar, bisa sang anak merasakan kehadiran-Nya. Sehingga selalu perilakunya baik karena merasa senantiasa diawasi.
Cerita orang-orang terdahulu juga bisa diberikan orangtua kepada anak. Cerita orang shaleh dan salah diberikan secara seimbang. Semoga anak mendapatkan inspirasi yang kokoh terkait hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dialog juga menjadi pintu lainnya. Sebuah fenomena dibedah dan dihubungkan dengan aturan-aturan Allah subhanahu wa ta’ala. Kritik bisa jadi hadir. Ini tidak masalah, karena solusi diupayakan setelahnya.
5. Menganggap risalah sebagai dongengan belaka
Para rasul manusia pilihan. Mereka dipilih karena kualitas kemanusiaan mereka yang jauh di atas standar. Mereka akan memikul beban berat: menyampaikan risalah dan sekaligus mencontohkannya.
Itu semua bisa dilihat dari perjalanan hidup Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau manusia pilihan. Beban yang dipikul untuk menyampaikan risalah juga jauh dari kata ringan. Kadang air mata tak cukup bercerita tentang jalan berliku serta berduri yang harus dilalui beliau. Takjub, mungkin hanya kata itu yang bisa mewakili rasa.
Beliau juga total dalam menyampaikan risalah. Hingga kemudian risalah ini sampai secara sempurna kepada orang-orang di zaman beliau dan juga setelahnya. Keindahan risalah itupun dapat disaksikan dengan indera maupun rasa.
Oleh karena itu, tidak baik jika ada keraguan terhadap risalah ini. Apalagi jika ada pernyataan bahwa risalah ini ketinggalan zaman. Apalagi jika ada celaan kepada pembawanya, Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagai upaya menguatkan keyakinan kepada risalah ini, sesosok orangtua perlu memahamkan anak tentang risalah ini dan sekaligus pembawanya. Orangtua juga perlu memberi teladan. Sehingga anak semakin cinta kepada risalah dan juga pembawanya. Anak yakin bahwa risalah ini sumber kebaikan. Hingga anak taat dan kemudian berkenan menyebarkannya.
Kekuatan keyakinan kepada risalah semoga bertambah manakala sirah (perjalanan hidup) Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disampaikan sesuai tingkatan berpikir anak. Bertahap hingga dewasa, anak mendapatkan sirah ini. Terus demikian hingga anak tumbuh dewasa dan yakin bahwa beliaulah sosok yang paling pantas untuk dijadikan teladan.
Sebuah Penutup: Menjadi Orangtua Sepanjang Hidup
Saat seorang anak menjadi dewasa, mungkin orangtuanya akan melepas seluruh beban kependidikan terhadap sang anak. Ia merasa sang anak bisa memutuskan hal baik dan buruk. Ia pasrah, tak lagi memandu.
Sementara itu, nun berabad-abad lalu sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an surat AlBaqarah ayat 133, Ya’qub ‘alaihissalam yang akan wafat masih bertanya kepada anak-anaknya, “Apakah yang akan kalian sembah setelah aku meninggal?”
Ya’qub ‘alaihissalam memberikan teladan. Tugas menjadi orangtua tidak berhenti saat tulang telah rapuh ataupun mata telah rabun. Tugas menjadi orangtua merupakan konsekuensi sepanjang hidup. Selama nafas masih berhembus, tugas itu masih melekat.
Oleh karena itu, baik jika setiap muslim bersiap untuk menjadi orangtua sepanjang hidup. Ada bekal yang terus ditambah, ada doa yang terus ditirakatkan, ada pertanyaan peringatan yang terus disampaikan, dan ada rintih takut siksa neraka yang tak kunjung dihentikan. Semuanya itu semoga bisa dilakukan agar tak ada cela ataupun saling mencela antara anak dengan orangtua, yang ada hanyalah cinta dan doa bahagia.
Wallahu a’lam bishshawab. (fu'ad fahrudin)
Post a Comment