Cinta Nabawi dalam Sosok Seorang Guru
“Tidaklah seseorang di antara kalian masuk surga sampai beriman. Dan tidaklah kalian semua beriman hingga saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan masuk surga? Sebarkanlah salam di antara kalian.”
(Terjemah hadits riwayat Bukhari Muslim)
Dalam hadits ini, Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan bahwa adanya iman ditandai dengan kehadiran cinta. Iman tidak mengajak pemiliknya untuk puas dengan kebahagiaan diri sendiri. Akan tetapi iman mengajak pemiliknya untuk mencintai orang lain sebagaimana diri sendiri, membahagiakan orang lain sebagaimana ada hasrat yang kuat untuk membahagiakan diri sendiri.
Dikarenakan kebahagiaan tertinggi seorang muslim adalah masuk surga, maka seorang muslim akan bahagia jika orang muslim lainnya masuk surga. Bahkan mungkin ia akan mengajak orang kafir untuk masuk surga lewat dakwah penuh cinta. Mungkin doa permintaan hidayah juga dipanjatkan.
Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan satu pupuk cinta yang penting: menyebarkan salam. Jika ini dipahami sebagai menyebarkan ucapan salam, maka hendaklah sering seorang muslim mengucapkan salam. Bertemu dan berpisah dengan sesama muslim, masuk dan keluar ruangan, serta memulai salam, semua aktifitas itu diwarnai dengan ucapan salam.
Jika ini dipahami lebih dalam, bisa jadi menyebarkan salam dimaknai juga dengan menyebarkan keselamatan. Berbagai ucapan dan tindakan yang mewujud dari seorang muslim berujung hanya ke arah keselamatan. Keburukan tidaklah terasa. Aman, nyaman, kemudian bahagia, itu saja yang ada.
Hal ini selaras dengan sabda Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang muslim adalah seseorang yang bisa menyelamatkan orang-orang muslim lainnya dari keburukan lisan dan tangannya.” (Terjemah hadits Bukhari Muslim)
Jika demikian, maka konstruksi cinta yang benar dibangun dengan dasar rasa aman dan nyaman. Dalam redaksi yang lain, jika cinta ingin dibangun, langkah awalnya dimulai dari keterhindaran rasa sakit: sakit hati ataupun fisik.
Konstruksi cinta ini dapat diistilahkan dengan konstruksi cinta nabawi. Karena konstruksi cinta ini dikenalkan oleh Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat sabda beliau. Hampir sama dengan istilah thibbun nabawi, serangkaian pengobatan yang disusun dari sejumlah sabda dan perilaku beliau.
Konstruksi cinta nabawi tidak dibangun dengan dasar romantisme, tidak pula pengorbanan, ataupun kesetiaan. Mungkin nantinya itu semua ada, tapi sekali lagi, tidak di bagian dasar. Karena apalah guna saling bermanis kata, bertukar hadiah, dan juga setia, tapi rasa sakit masih terasakan dalam hubungan. Sekuat-kuat manusia menerima rasa sakit, sangat mungkin batas sudah dekat. Saat batas itu tersentuh, pudarlah sudah hubungan cinta.
Berangkat dari pemahaman ini, baik kiranya jika seorang muslim mempelajari dengan sungguh-sungguh bagaimana mengelola lisan dan tangan agar tak ada keburukan. Dengan demikian, semoga orang lain akan merasa aman dan nyaman. Situasi kondusif dapat dirasa.
Kondusivitas situasi ini semoga bisa menjadi pondasi cinta yang kokoh. Jika sudah demikian, maka pembangunan cinta bisa dilanjutkan. Mungkin temboknya dibangun dengan kesetiaan, jendelanya dengan romantisme, dan atapnya dengan pengorbanan.
Lebih lanjut, sangat baik jika seorang muslim memiliki ilmu tentang aneka ucapan buruk dan biang-biangnya. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain: marah bersebab remeh, ghibah (gosip), tajassus (memata-matai), celaan, dan juga fitnah. Adapun biang-biangnya antara lain: sikap sombong, iri dengki, dan ingin pamer.
Adapun perbuatan tangan yang buruk, salah satunya adalah memukul tanpa hak yang dibenarkan. Perbuatan buruk lainnya adalah membiarkan potensi keburukan. Dalam salah satu hadits, Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, “Apabila salah seorang dari kalian melewati masjid atau pasar dengan membawa busur panah, maka hendaklah ia memegang mata panahnya hingga tidak mengenai salah seorang dari kaum muslimin.” (Terjemah hadits riwayat Bukhari Muslim)
Perbuatan buruk lainnya adalah sewenang-wenang. Ada keinginan untuk menguasai suatu kawasan yang dibangun lewat jalan kekerasan. Bukan cara kebaikan yang ditempuh. Di sisi lain, keinginan berkuasa bukan sesuatu yang terpuji. Karena kekuasaan akan dimintai pertanggunjawaban di Akherat. Semakin seseorang ingin berkuasa, pertanggungjawabannya sangat mungkin semakin berat.
Merampas, mencuri, dan merampok merupakan jenis lain dari perbuatan tangan yang buruk. Jika ini dibiarkan, maka situasi sulit untuk kondusif. Bisa setiap orang merasa tidak nyaman. Bahkan kemudian, jika keadilan tidak segera ditegakkan oleh pihak yang berwenang, bisa setiap orang main hakim sendiri.
Biang dari keburukan perbuatan tangan lahir dari ketidaktakutan akan siksa Allah subhanahu wa ta’ala. Yang penting, hasrat tersalurkan, keinginan terpenuhi. Urusan siksa dari-Nya diabaikan sejauh-jauhnya.
Dengan mengenali kesemua tindakan buruk dan biang-biangnya, semoga seorang muslim bisa membangun dirinya dari dalam. Akal dan jiwa dibangun di atas dasar kebajikan. Fisik dibangun di atas dasar kekuatan. Kemudian diharapkan kebajikan dan kekuatan berpadu dan mewujud dalam kebaikan. Jika pun tidak mewujud dalam kebaikan, kekuatan tidak digunakan untuk mengganggu orang lain serta merusak lingkungan.
Dalam situasi yang lebih khusus, konstruksi cinta nabawi ini sangat penting dipahami oleh para guru dengan berbagai sebutannya (orangtua, dai, pengasuh, dan lain sejenisnya). Karena tugas yang diemban memiliki korelasi kuat dengan kenabian: mengantarkan ilmu berbalut hidayah, ilmu yang melahirkan amal shaleh dan juga.
Jika murid (anak, siswa, dan lain sejenisnya) merasakan cinta yang tulus, murni, ikhlas, semoga ia terdorong untuk semakin baik. Akan tetapi, sebaliknya, jika ia tak rasakan cinta dari sesosok guru, maka rasanya sulit mengharap dirinya menjadi baik.
Di sinilah perlu guru memahami konstruksi cinta nabawi. Ia perlu menguatkan kesucian dirinya sehingga terhindar dari biang-biang keburukan. Kemudian ia perlu mengelola emosi dan kognisi agar mengucap kata benar di waktu dan tempat yang benar. Dengan demikian ada rasa aman dan nyaman saat saling sua, bahkan ada rasa tak ingin berpisah.
Memang bisa jadi potensi masalah ada pada murid. Guru sudah mati-matian menumbuhkan cinta tapi ada respon yang memadai. Pepatah mengatakan, cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Dalam kasus ini, mungkin perlu cinta guru diperluas. Ibarat samudera, perlu cinta yang ada diperluas lagi hingga tak terlihat batasnya. Perlahan guru membangun dirinya, mensucikan jiwanya, menguatkan akalnya, lalu mencintai muridnya kembali dengan lebih baik. Dengan cinta yang lebih baik, semoga ada energi yang lebih kuat untuk kemudian melahirkan inovasi yang lebih kreatif.
Dapat dikatakan, dari sini, bahwa permasalahan guru terletak di kedalaman diri guru. Selain itu, ada keterpaduan yang perlu tercipta. Jiwa, akal, dan badan perlu selaras ke satu arah untuk kemudian menghasilkan perilaku yang menentramkan.
Menguatkan guru di aspek akal saja mungkin menghasilkan guru yang cerdas. Akan tetapi, guru ini bisa jadi masih mengumpat di belakang murid. Kadang ada celaan yang terucap. Akibatnya murid tidak nyaman. Maka, cinta pun sulit terbangun. Jangankan hidayah, nilai-nilai akhlaq dan ilmu mungkin tak akan menghampiri sang murid.
Menguatkan guru di aspek ibadah saja mungkin menghasilkan guru yang sopan santun. Akan tetapi sang guru mungkin miskin inovasi. Performa profesionalnya monoton. Murid bisa bosan.
(fu’ad fahrudin)
Post a Comment