Pesan Transformasi Peradaban dalam Iqro’ Bismirabbik
Oleh : Fu'ad Fahrudin, M.Pd.I.
Masyarakat Arab di era jahiliyah memiliki karakter ummi, buta huruf. Literasi jauh dari prioritas kehidupan mereka. Selain itu, perikehidupan mereka terlihat jauh dari nilai-nilai yang kokoh. Tujuan yang baik kadang diselesaikan dengan tindakan sederhana, jauh dari kebaikan hidup jangka panjang.
Contoh yang popular adalah penguburan anak perempuan hidup-hidup. Tujuan ini mulia, menyelamatkan anak perempuan dari kehinaan saat peperangan terjadi. Akan tetapi jalan yang ditempuh kurang memperhatikan kemuliaan perempuan. Alangkah baiknya anak perempuan diberdayakan lewat pendidikan, sekaligus pertahanan kabilah semakin diperkuat.
Turunlah ayat pertama yang membawa perintah pertama, iqro’ bismirabbik. Manusia diperintahkan untuk membaca, tapi tidak sekedar membaca. Membaca yang dimaksud dimulai dengan menyebut nama Tuhan pencipta manusia; diniati karena-Nya, untuk-Nya, dan selaras dengan jalan yang ditetapkan-Nya.
Masyarakat
tanpa budaya literasi diperintah untuk peduli literasi. Bahkan literasi yang
tidak biasa, literasi yang berketuhanan. Ada pesan transformasi peradaban yang
sangat fundamental: nir-literasi menuju literasi, nir-nilai menuju nilai-nilai
yang kokoh, nir-aksi menjadi aktif.
Manusia di masyarakat Arab jahiliyah kemudian terbelah. Ada mereka yang menangkap pesan transformasi perabadan, lalu bergabung dalam golongan kaum muslimin. Ada mereka yang menangkap pesan transformasi peradaban, tapi justru menjadi musuh. Ada juga mereka yang cenderung menunggu perkembangan pertentangan di antara dua golongan tersebut.
Proyeksi yang kemudian penting untuk dipahami adalah karakter kaum muslimin. Bukan pasif, tapi mereka diharapkan aktif. Potensi-potensi yang ada dikerahkan untuk mampu membaca seluruh keadaan, lalu bergerak menuju progresivitas kehidupan.
Bukan objek, tapi kaum muslimin subjek peradaban. Dalam kondisi apapun, kaum muslimin perlu bergerak menuju progresivitas kehidupan. Tidak selamanya posisi kaum muslimin di puncak, kadang di bawah bahkan tertindas. Akan tetapi semangat untuk menjadi subjek peradaban perlu terus dirawat.
Bukan pragmatis, tapi kaum muslimin penuh nilai. Dalam mengambil tindakan apapun, dengan tujuan apapun, nilai-nilai keislaman perlu kuat dipegang. Sukses bukan hanya diukur dengan materi tapi konsistensi dalam mempraktekkan nilai-nilai yang diyakini.
Inilah blueprint kaum muslimin yang dapat dipetik dari ayat pertama Al-Qur’an, dari perintah pertamanya. Tugas berikutnya adalah meresapi, merawat, dan melestarikannya dari generasi ke generasi. Bukan hanya tugas individu, tapi ini jadi tugas bersama.
Fu'ad
Fahrudin, M.Pd.I., Sekjen DPW Hidayatullah DIY Jatengbagsel
Post a Comment