Dampak Ilmu Yang Bismirabbik
Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam Al-Ghazali
menggambarkan filosof sebagai orang yang cukup dengan ilmunya. Tidak perlu ilmu
menjadi amal. Ilmu yang ada sudah dianggap sebagai penyelamat diri.
Jika kemudian perilaku sehari-hari jauh
dari ilmu yang digenggam, filosof sangat mungkin berdalih.
Argumentasi-argumentasi dikemukakan, walaupun konsekuensinya akan lahir
kontradiksi ilmiah. Filosof jauh dari peduli.
Dari sini bencana ilmu bisa lahir. Para
pembawa ilmu tidak menunjukkan ilmunya dalam sesuatu yang kasat mata. Ilmu
hanya menjadi untaian kata-kata, mungkin indah tapi kosong makna.
Tanpa makna, ilmu tak lagi jadi motivasi.
Tak ada lagi daya geraknya. Bahkan bisa jadi orang-orang berilmu menjadi musuh
masyarakat. Karena orang-orang berilmu sudah terlanjur dianggap sebagai
pemalas, lebih jauhnya penyebar kemalasan.
Kekacauan di masyarakat pun terjadi.
Karena pengelolaan kehidupan bermasyarakat tidak lagi bersandar pada ilmu.
Insting dan intuisi mengambil alih. Walaupun keduanya diakui bermasalah dalam
standarisasi objektivitas, masyarakat tidak lagi kuasa untuk berkeberatan.
Karena ilmu sudah dibuang jauh.
Disinilah urgensi iqro' bismirabbik
diketemukan. Dalam iqro', dalam proses pencarian ilmu, motivasi rabbani
dihidupkan. Mencari ilmu cermin ketaatan kepada Allah ta'ala. Jika ilmu lalu
didapatkan, ketaatan ditambahkan. Terus proses itu dipertahankan. Sehingga
semakin banyak ilmu digenggam, semakin tunduk seorang berilmu kepada-Nya.
Semakin kuat upayanya menjauhi maksiat, sekaligus semakin kuat memperdalam
sujudnya.
Jika ilmu belum didapatkan, tak ada kata
putus asa. Karena ilmu bukan tujuan. Ia hanya bonus. Yang penting ketaatan
untuk terus menuntut ilmu dijaga.
Lahirlah masyarakat pecinta ilmu yang
amali, ilmu memotivasi amal. Otomatis selanjutnya lahirlah masyarakat pecinta
amal. Dimana-mana keshalehan terlihat, terdengar, teraba, dan terasa. Saling
menuntut, saling pelit, saling menzhalimi hampir tak terlihat.
Post a Comment