Ada Kalanya Diam
Oleh : Ustadz Asih Subagya Seringkali, kita tidak tahan untuk tak merespon saat mendengarkan sebuah pendapat ataupun argumen, yang salah, bahkan tidak tepat dan cenderung serampangan. Apalagi pembawa pesan/pembicaranya tak menguasai, nampak sok tahu dan kelihatan tak memiliki basic keilmuan perkara itu. Disisi lain kita cukup paham dan mengerti serta memiliki kapasitas keilmuan yang memadai untuk hal-hal dan perkara yang sedang dibahas itu. Tentu ada "sengketa hati" yang bergejolak di dalam diri. Ingin rasanya langsung membantah, memberi dalil, hujah serta argumen untuk meluruskan dan membenarkan argumen dan pendapat itu. Alasanya sederhana, agar yang yang mendengar ataupun membaca tidak terdistorsi dan salah paham dalam memahami perkara itu. Hal ini baik, jika dilakukan secara pribadi. Dengan cara, ditemui langsung ataupun dijapri, untuk memberikan koreksi tersebut. Dengan cara yang baik dan santun. Bukan untuk mempermalukannya, apalagi mencari-cari kesalahan orang lain. Dan bukan dilakukan di depan umum/publik. Bisa juga hal ini dilakukan (di depan publik) ketika berada dalam forum akademik dan ilmiah. Dasarnya tentu pijakan dan kaidah ilmiah. Namun bukan untuk menjatuhkan pembicaranya, melainkan mengoreksi pendapatnya. Dua hal yang berbeda, tetapi acapkali disalahpahami dalam penempatanya. Atau mengikuti pesan Ibnu Khaldun, untuk diam dan mendengarkan, mesti kita memiliki kapasitas dan kompetensi disitu, sementara yang berbicara tidak. Meski pada saatnya yang tepat, tetap diluruskan. Sikap seperti ini, menurutnya sebagai wujud dari ketinggian adab. Dan adab mesti didahulukan daripada ilmu. Wallahu a'lam
Post a Comment